Kalau pengemudi tetap nekat parkir di halte, terapkan sanksi tegas: tilang dengan denda yang signifikan untuk pelanggaran pertama, dan penangguhan akun untuk pelanggaran berulang.
Pasang papan larangan yang jelas di setiap halte dengan informasi lokasi shelter terdekat. Libatkan perusahaan ojol dalam sosialisasi kepada pengemudi tentang aturan baru ini.
Dengan kombinasi infrastruktur, teknologi, dan penegakan aturan yang konsisten, pelanggaran dapat diminimalkan.
Ketiga, bentuk tim koordinasi terpadu antarinstansi untuk pemantauan dan evaluasi berkala. Masalah penyalahgunaan halte Transjakarta bukan tanggung jawab satu dinas saja.
Ini membutuhkan koordinasi antara Dinas Perhubungan yang mengatur transportasi, Satpol PP yang menegakkan aturan, PT Transjakarta yang mengelola halte, dan bahkan perusahaan ojek online sebagai mitra.
Bentuk tim koordinasi khusus yang bertemu secara rutin untuk memantau implementasi shelter, mengevaluasi efektivitasnya, dan mengatasi masalah yang muncul.
Tim ini juga bertugas mengidentifikasi lokasi-lokasi baru yang membutuhkan shelter seiring dengan perkembangan jaringan Transjakarta.
Libatkan warga dan penumpang Transjakarta dalam mekanisme pengaduan melalui aplikasi atau hotline khusus, sehingga pelanggaran dapat segera ditindak.
Lalu, tidak lupa untuk melakukan evaluasi berkala setiap tiga bulan untuk mengukur tingkat kepatuhan dan kepuasan penumpang.
Model koordinasi terpadu ini penting karena masalah transportasi bersifat multidimensional dan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan sektoral.
Penutup
Halte Transjakarta yang disalahgunakan sebagai pangkalan ojek online adalah cerminan dari kegagalan perencanaan transportasi yang integratif.