Pernahkah Anda menonton film 'Life of Pi'? Film yang diadaptasi dari novel filosofis Kanada berjudul sama karya Yann Martel ini, dirilis pada tahun 2012.
Jika ya, mungkin Anda masih ingat adegan yang membekukan darah, ketika Pi Patel pertama kali berhadapan langsung dengan Richard Parker, seekor harimau Bengal seberat 450 pon di dalam sekoci sempit di tengah lautan Pasifik yang tak berujung.
Dalam sekejap, film karya Ang Lee ini mengubah ekspektasi kita, dari yang awalnya tampak seperti kisah petualangan seorang remaja, menjadi pertarungan eksistensial antara hidup dan mati.
Namun, di balik ketegangan yang mencekam itu, tersembunyi pelajaran yang jauh lebih mendalam: Richard Parker bukan sekadar ancaman, tapi 'guru' yang mengajarkan tentang survival dalam bentuknya yang paling murni.
Saat kita duduk dengan nyaman menonton film tersebut, ada ironi yang menyakitkan: spesies yang mengajarkan Pi (dan kita) tentang ketangguhan dan kelangsungan hidup ini, justru sedang berjuang melawan kepunahan.
Harimau Sumatera, saudara kandung Richard Parker di dunia nyata, kini hanya tersisa dalam hitungan ratusan di alam liar Indonesia.
Mereka yang mengajarkan kita bagaimana bertahan hidup, kini membutuhkan suara kita untuk terus bernapas di bumi yang sama. Inilah saatnya bagi kita berbicara kepada mereka yang tak bersuara.
Insting untuk bertahan hidup
Dalam film 'Life of Pi,' kehadiran Richard Parker memaksa Pi untuk mau tidak mau, menemukan kekuatan dalam dirinya, yang tidak pernah dia ketahui sebelumnya.
Harimau tidak mengenal kata menyerah. Ketika lapar, dia akan berburu. Ketika haus, dia akan mencari air. Ketika terancam, dia akan melawan dengan segala tenaga yang dimilikinya.
Insting survival yang murni ini, menjadi cermin bagi Pi untuk tidak mudah menyerah dalam situasi yang tampak mustahil sekalipun.