Pola militer sangat mengandalkan hierarki dan instruksi. Sementara banyak sektor industri, terutama yang berbasis teknologi dan kreatif, kini mulai mengadopsi model kerja horizontal---di mana keputusan bisa diambil secara kolektif dan komunikasi berlangsung dua arah.
Kesenjangan nilai ini, penting untuk dicermati. Mengimpor budaya militer ke dunia pelatihan kerja tanpa mempertimbangkan konteks sosial industri dapat menimbulkan benturan kultural.
Misalnya, lulusan dengan latar pelatihan militer, mungkin, kesulitan beradaptasi dalam perusahaan start-up yang mengedepankan kebebasan ide, waktu kerja fleksibel, dan struktur kerja yang datar.
Dunia industri masa kini memerlukan pekerja yang bukan cuma taat pada sistem, tapi juga mampu menciptakan sistem.
Kreativitas, empati, dan kolaborasi antargenerasi lebih dibutuhkan daripada sekadar kepatuhan pada protokol.
Teknologi dan Inovasi: Di Mana Peran Adaptabilitas?
Pola militer menekankan latihan fisik dan pengulangan---dua hal yang vital dalam situasi darurat dan operasi tempur.
Namun, dalam konteks industri berbasis teknologi, kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, dan belajar mandiri jauh lebih penting.
Sayangnya, tidak banyak program pelatihan berbasis militer yang mengakomodasi pengembangan soft skill digital maupun lifelong learning.
Alih-alih membekali peserta dengan daya lenting untuk menjawab tantangan AI, otomasi, dan sistem kerja digital, pendekatan militer lebih fokus pada pencapaian hasil instan dan kepatuhan prosedural.
Bila tidak diintegrasikan dengan kurikulum berbasis teknologi, pendekatan ini justru bisa menghasilkan tenaga kerja yang siap kerja hari ini, namun tidak relevan besok.
Dalam dunia yang cepat berubah, kesiapan kerja bukan sekadar soal disiplin dan stamina, melainkan tentang kemampuan belajar ulang dan berpikir adaptif.