Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru-baru ini mengatakan, selain siswa 'nakal' Pemprov Jawa Barat bakal memberikan pelatihan di barak militer bagi para pencari kerja.
Gagasan ini, terkesan menjanjikan: kedisiplinan tinggi, ketahanan fisik dan mental, serta semangat kerja kolektif yang menjadi ciri khas militer diyakini dapat membentuk pribadi yang tangguh di dunia industri.
Namun, seiring meningkatnya ketertarikan terhadap pola ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah pendekatan ala militer relevan dalam membentuk pekerja yang adaptif dan kreatif di era industri 4.0---bahkan menuju society 5.0?
Untuk menjawabnya, tulisan ini, mencoba menawarkan sudut pandang berbeda dengan menakar pendekatan ala militer dari tiga sisi yang belum banyak dibicarakan publik.
Ketiga sisi yang dimaksud adalah: dampak psikologis jangka panjang, gesekan nilai kultural di dunia kerja, dan minimnya ruang adaptasi terhadap teknologi dan inovasi.
Disiplin vs Kesehatan Psikologis: Mampukah Keduanya Berjalan Beriringan?
Pola pelatihan militer, memang, unggul dalam membentuk disiplin dan ketahanan fisik. Namun, pendekatan ini, kerap bersifat top-down, penuh tekanan, dan sedikit ruang untuk ekspresi individu.
Sementara di sisi lain, dunia industri modern, kini lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental dan fleksibilitas kerja.
Studi oleh International Labour Organization (ILO), misalnya, menunjukkan bahwa perusahaan dengan iklim kerja yang suportif dan inklusif cenderung lebih produktif.
Hal ini, bertolak belakang dengan praktik pelatihan militer yang menuntut konformitas tinggi dan minim empati.
Bila pelatihan vokasi meniru mentah pola militer tanpa modifikasi, dikhawatirkan bakal melahirkan lulusan yang secara psikis terlatih untuk patuh, namun kurang inisiatif dan mudah burnout saat menghadapi tekanan industri yang lebih kompleks dan dinamis.
Pelatihan kerja yang sehat bukan cuma tentang membentuk tenaga kerja keras, tapi juga manusia kerja utuh---yang mampu mengenali batas diri, bekerja secara kolaboratif, dan bertahan dalam lingkungan yang terus berubah.
Budaya Militer vs Budaya Industri: Apakah Bisa Disatukan?
Pola militer sangat mengandalkan hierarki dan instruksi. Sementara banyak sektor industri, terutama yang berbasis teknologi dan kreatif, kini mulai mengadopsi model kerja horizontal---di mana keputusan bisa diambil secara kolektif dan komunikasi berlangsung dua arah.
Kesenjangan nilai ini, penting untuk dicermati. Mengimpor budaya militer ke dunia pelatihan kerja tanpa mempertimbangkan konteks sosial industri dapat menimbulkan benturan kultural.
Misalnya, lulusan dengan latar pelatihan militer, mungkin, kesulitan beradaptasi dalam perusahaan start-up yang mengedepankan kebebasan ide, waktu kerja fleksibel, dan struktur kerja yang datar.
Dunia industri masa kini memerlukan pekerja yang bukan cuma taat pada sistem, tapi juga mampu menciptakan sistem.
Kreativitas, empati, dan kolaborasi antargenerasi lebih dibutuhkan daripada sekadar kepatuhan pada protokol.
Teknologi dan Inovasi: Di Mana Peran Adaptabilitas?
Pola militer menekankan latihan fisik dan pengulangan---dua hal yang vital dalam situasi darurat dan operasi tempur.
Namun, dalam konteks industri berbasis teknologi, kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, dan belajar mandiri jauh lebih penting.
Sayangnya, tidak banyak program pelatihan berbasis militer yang mengakomodasi pengembangan soft skill digital maupun lifelong learning.
Alih-alih membekali peserta dengan daya lenting untuk menjawab tantangan AI, otomasi, dan sistem kerja digital, pendekatan militer lebih fokus pada pencapaian hasil instan dan kepatuhan prosedural.
Bila tidak diintegrasikan dengan kurikulum berbasis teknologi, pendekatan ini justru bisa menghasilkan tenaga kerja yang siap kerja hari ini, namun tidak relevan besok.
Dalam dunia yang cepat berubah, kesiapan kerja bukan sekadar soal disiplin dan stamina, melainkan tentang kemampuan belajar ulang dan berpikir adaptif.
Penutup: Modifikasi, Bukan Duplikasi
Pola militer dalam pelatihan kerja memiliki sisi positif yang tak dapat diabaikan---terutama dalam membangun etos kerja dan disiplin.
Namun, perlu disadari bahwa dunia industri bukan medan perang, dan pekerja bukan prajurit-mereka adalah manusia yang harus dilatih, didengar, dan diberdayakan.
Untuk itu, bila model pelatihan ini ingin diterapkan, modifikasi kontekstual mutlak diperlukan. Aspek psikologis harus diperhitungkan, nilai-nilai budaya kerja industri harus dihormati, dan integrasi teknologi dalam pelatihan harus diutamakan.
Pendekatan yang humanistik, adaptif, dan inklusif akan jauh lebih relevan untuk mempersiapkan generasi kerja masa depan.
Daripada meniru bulat-bulat pola militer, lebih baik kita menakar ulang dan menyaring nilai-nilai terbaiknya---agar pelatihan kerja tidak cuma menghasilkan tenaga yang patuh, tapi juga pemikir yang tangguh dan inovatif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI