Mohon tunggu...
Biasdini M
Biasdini M Mohon Tunggu... Part time writer

Hi, my name is Biasdini.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Di Balik Anoreksia, Bulimia, dan Binge Eating: Stigma, Realitas, dan Harapan

22 Agustus 2025   16:15 Diperbarui: 25 Agustus 2025   11:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hati-hati, Makan Berlebihan Bisa Jadi Pertanda Binge Eating Disorder (alodokter.com)

Gangguan makan (Eating Disorders/EDs) seperti anoreksia nervosa (AN), bulimia nervosa (BN), dan binge eating disorder (BED) merupakan gangguan mental serius yang dapat mengancam jiwa karena berdampak buruk pada kesehatan fisik maupun fungsi psikososial (Treasure et al., 2020; Wu et al., 2020). Gangguan ini ditandai dengan pola makan yang menyimpang baik terlalu sedikit maupun berlebihan disertai tekanan psikologis, kekhawatiran berlebihan terhadap berat badan atau bentuk tubuh, serta kadang muncul perilaku kompensasi yang berisiko bagi kesehatan. Selain meningkatkan morbiditas dan mortalitas, ED juga menurunkan kualitas hidup sehari-hari penderitanya.

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap muncul dan berlanjutnya ED adalah ketidakpuasan terhadap tubuh, yaitu perasaan negatif dan pikiran kritis terhadap penampilan diri (Kilpela et al., 2023). Kondisi ini dapat mendorong perilaku berisiko seperti membatasi makan secara ekstrem, berolahraga berlebihan, atau bahkan berkembang menjadi dismorfia tubuh (Bazile, 2024; Watters & Higgins, 2024). Lebih jauh, ketidakpuasan tubuh juga berdampak pada kesehatan mental, meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan gangguan regulasi emosi (Milton et al., 2021; Estévez et al., 2021).

Data global menunjukkan prevalensi ED terus meningkat. Global Burden of Disease Study melaporkan kenaikan kasus dari 172,53 per 100.000 penduduk pada 1990 menjadi 203,20 per 100.000 pada 2017, dengan prevalensi jauh lebih tinggi di negara berpenghasilan tinggi (Wu et al., 2020). Namun, hanya sekitar 20% penderita yang mencari pertolongan medis (Treasure et al., 2020). Di Taiwan, misalnya, angka prevalensi tahunan mencapai 20,87 per 100.000 penduduk, mayoritas perempuan, yang mengindikasikan masih banyak kasus tidak terdeteksi (Tsai et al., 2018).

Perbedaan anoreksia nervosa (AN) dan bulimia nervosa (BN), and binge eating disorder (BED).

Gangguan makan (Eating Disorders/EDs) merupakan salah satu bentuk gangguan mental yang sering dipandang sebelah mata dan masih mendapat stigma. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5 (DSM-5), ada tiga jenis utama ED, yaitu anoreksia nervosa (AN), bulimia nervosa (BN), dan binge eating disorder (BED). Selain itu, DSM-5 juga memasukkan kategori lain seperti other specified feeding and eating disorders (OSFED) misalnya anoreksia atipikal atau night eating syndrom serta avoidant restrictive food intake disorder (ARFID).

Meski sama-sama disebut gangguan makan, tiap jenis memiliki ciri yang berbeda. Pada anoreksia nervosa (AN), seseorang biasanya membatasi makan dengan sangat ketat hingga berat badannya jauh di bawah normal. Ketakutan untuk menjadi gemuk begitu besar, bahkan pandangan terhadap tubuh sendiri sering kali tidak sesuai kenyataan. Pada bulimia nervosa (BN), penderita mengalami episode makan berlebihan yang kemudian diikuti perilaku kompensasi, seperti muntah paksa atau olahraga berlebihan, demi menghindari kenaikan berat badan. Sementara itu, binge eating disorder (BED) ditandai dengan makan dalam jumlah besar disertai rasa kehilangan kontrol, namun tidak ada usaha untuk “mengimbanginya” setelah itu. Akibatnya, banyak penderita BED mengalami kelebihan berat badan, diiringi rasa bersalah, malu, atau tertekan setelah makan.

Stigma terhadap Gangguan Mental dan ED

Stigmatisasi terhadap kelompok sosial merupakan fenomena universal, di mana individu diperlakukan berbeda, dikucilkan, atau ditolak karena dianggap tidak sesuai dengan standar masyarakat baik karena ras, usia, maupun disabilitas. Pola serupa juga ditemukan pada gangguan mental, termasuk ED.

Dalam psikologi sosial, stigma dipahami melalui tiga aspek: kognitif (stereotipe), emosional (prasangka), dan perilaku (diskriminasi). Contohnya, stereotipe bahwa penderita gangguan mental berbahaya atau lemah, prasangka berupa rasa takut atau jijik, serta diskriminasi nyata seperti ditolak dalam pekerjaan. Dampak stigma ini serius: banyak penderita kehilangan rasa percaya diri, mengalami isolasi sosial, sehingga enggan mencari bantuan profesional. Penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat stigma berbeda antar gangguan; penderita skizofrenia dan kecanduan cenderung lebih distigma dibanding mereka dengan depresi atau kecemasan. Faktor usia, pendidikan, dan pengalaman pribadi turut memengaruhi sejauh mana prasangka terbentuk.

Khusus pada ED, stigma kerap berbentuk anggapan bahwa penderita menyalahkan dirinya atas kondisinya, atau seharusnya mampu mengendalikan diri. Penderita ED sering dianggap sulit diajak berkomunikasi, meskipun stigma ini masih lebih rendah dibandingkan skizofrenia atau kecanduan. Sikap negatif tidak hanya muncul di masyarakat umum, tetapi juga di kalangan tenaga kesehatan terutama pada klinisi pria, perawat, atau tenaga kesehatan yang kurang berpengalaman dalam menangani ED.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun