Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ekonomi Kreatif? Apaan Tuh?

19 Oktober 2011   00:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:47 1122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_142432" align="aligncenter" width="640" caption="Presiden Susilo Bambang Yudhoyono/admin (KOMPAS/Alif Ichwan)"][/caption]

Reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang diumumkan oleh Presiden SBY semalam meski beberapa nama sudah diprediksi, tetap memberikan kejutan. Bagi saya, kejutan terbesar adalah “kembalinya” pos kebudayaan melekat pada “pendidikan”. Sehingga Kementerian (sebelum KIB disebut Departemen) Pendidikan Nasional menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara pos yang ditinggalkan yaitu Kementerian Pariwisata dan Seni Budaya menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Ekonomi Kreatif? Apaan tuh?

Saya terkejut sendiri mendengarnya. Karena saya bukan ekonom, saya tidak tahu bahwa konsep ini akademis dan ilmiah. Howkins (2001) misalnya, menyebutkan dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat. (keterangan ini dikutip dari situs indonesiakreatif.net). Jadi, sebenarnya cukup beralasan membuat pos ini. Walau bagi rakyat awam seperti saya tentu akan sangat sulit membedakan antara ekonomi kreatif dan “ekonomi biasa”.

Lebih terkejut lagi saat mengetahui pos kementerian tersebut diisi oleh Marie Elka Pangestu. Mantan Menteri Perdagangan yang sebenarnya seringkali membuat kebijakan yang merugikan perdagangan dalam negeri. Salah satunya adalah impor aneka jenis komoditi termasuk beras dan garam. Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad sempat menggerebek sendiri gudang garam impor yang merugikan petani garam (berita di sini). Ironisnya, Fadel kemudian dicopot dan Marie malah dipertahankan meski digeser posisinya.

Ini seolah menunjukkan posisi tawar Marie lebih kuat daripada Fadel. Bahkan sang Menteri Kelautan dan Perikanan yang tampak geram saat dicopot itu sempat berusaha menemui Presiden beberapa jam sebelum pengumuman reshuffle. Namun, tampaknya kehadirannya tidak dikehendaki di Istana Negara sehingga ia keluar lagi setelah beberapa menit berada di dalam. Pengganti Fadel di pos Menteri Kelautan dan Perikanan meski juga berasal dari Partai Golkar, kinerja dan kompetensinya belum diketahui dan juga belum teruji. Sementara kinerja Fadel di birokrasi memadai sejak zaman Orde Baru hingga sempat menjabat Gubernur Provinsi Gorontalo sebelum ditunjuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Fadel juga terhitung berani menghadapi Malaysia dalam sengketa perbatasan dan perampasan ikan kita oleh nelayan Malaysia. Ia misalnya membela langsung petugas KPLP yang ditahan aparat Malaysia beberapa waktu lalu (berita antara lain bisa dibaca di sini).

Karena itu, terus terang saya mempertanyakan, kalau kriterianya kinerja, seharusnya Fadel tidak dicopot. Entah apakah surat dari DPP Golkar yang sampai di meja Presiden beberapa jam sebelum pengumuman punya arti atau tidak, namun pertimbangan SBY mencopotnya menunjukkan aroma friksi internal baik di tubuh kabinet maupun Partai Golkar sendiri.

Di sisi lain, ada menteri yang dinilai bermasalah justru dipertahankan. Mereka adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Banyak yang menilai kalau mereka berdua terlalu ‘berjasa’ dan ‘tahu banyak’ rahasia SBY, sehingga menjadi “The Untouchables”.

Walau begitu, saya salut pada keberanian Presiden SBY mencopot Freddy Numberi dan ‘memaksa’ Suharso Monoarfa mengundurkan diri. Keduanya memiliki masalah pribadi dengan keluarga. Apabila keduanya tidak digantikan sebagai menteri, publik akan mempertanyakan kenapa dahulu Yusril Ihza Mahendra dicopot dari jabatan Mensesneg KIB I karena kasus serupa. Padahal, dari segi kompetensi dan kinerja beliau sangat tinggi nilainya.

Beliau juga tampak berusaha ‘adil’ dalam soal perimbangan partai politik (parpol). Meski mencopot pos menteri dari PKS, namun pos menteri dari Partai Demokrat juga dikurangi. Ini seolah menunjukkan presiden tidak pilih kasih karena ia justru mengurangi ‘jatah’ dari parpolnya sendiri. Demikian pula dengan perimbangan komposisi wilayah, Presiden tetap mencoba memasukkan putra Papua dalam kabinet setelah mencopot Menteri Perhubungan Freddy Numberi. Pos untuk putra Papua ini adalah Menteri Lingkungan Hidup yang diisi Rektor Universitas Cendrawasih Balthazar Kambuaya.

Pengangkatan Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN patut diacungi jempol. Hal itu karena yang bersangkutan terbukti mampu mengangkat kinerja PLN. Walau sempat diwarnai penolakan oleh sejumlah pegawai PLN di awal masa jabatannya, namun kemudian terbukti ia mampu membangkitkan semangat pegawai dan efeknya produktivitas meningkat. Dan justru di saat inilah kemudian ia malah diminta meninggalkan PLN, satu hal yang juga disayangkan olehnya sendiri.

Saat menerangkan kepada wartawan usai diperiksa kesehatannya di RSPAD Gatot Subroto, Dahlan Iskan juga menyebutkan bahwa selain kesehatan fisik, juga diperiksa kesehatan jiwanya. Ia disebutkan harus menjawab 300 pertanyaan. Namun tidak jelas apakah itu adalah semacam psikotes karena dilakukan di rumah sakit oleh dokter ahli jiwa (psikiater), bukan psikolog.

Dalam tulisan terdahulu, saya pernah menyarankan agar memilih menteri berdasarkan kompetensi (baca kembali di sini). Ini karena berdasarkan konteks menteri sebenarnya adalah juga pegawai. Maka selayaknya ia menjalani tes seperti pegawai pula. Sementara selama ini justru ‘selera’ Presiden dan masukan dari parpol berdasarkan perimbangan koalisi yang lebih dikedepankan. Kalau benar menteri dipilih berdasarkan kompetensi, maka seharusnya tes kompetensi termasuk psikotes didahulukan daripada pemanggilan atau wawancara oleh Presiden.

Satu hal yang juga mengherankan adalah penggemukan kabinet dengan mengadakan pos Wakil Menteri yang belum pernah ada semenjak Indonesia merdeka. Padahal, di tiap kementerian sudah ada pos bernama Deputi Menteri. Secara kebahasaan, arti “Wakil” dan “Deputi” sebenarnya sama. Namun ternyata dalam konteks KIB dibedakan dengan posisi wakil menteri ditempatkan sebagai orang nomor dua di kementerian bersangkutan. Hal lain yang juga mengherankan, tidak semua kementerian memiliki pos wakil menteri. Ini menunjukkan pos ini insidentil dan secara struktural ketatanegaraan bisa diadakan atau ditiadakan sewaktu-waktu.

Akhirnya, sebenarnya hanya satu harapan rakyat terkait reshuffle kabinet ini, yaitu kinerja kabinet makin baik dalam melayani rakyat melalui program kerja yang terimplementasikan. Sehingga kritikan dari masyarakat yang tersuarakan oleh pengamat akan makin minim. Semoga saja semua menteri baik yang lama maupun yang baru diangkat mampu fokus bekerja sesuai posnya dan mampu mengesampingkan kepentingan parpol demi negara.

http://www.lifeschool-indonesia.com/?p=52

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun