Berjalan Pelan Tak Masalah, Asal Tidak Berhenti

Di era yang serba cepat ini, kita hidup dalam lingkungan yang menuntut segala sesuatu serba instan. Informasi datang dalam hitungan detik. 

Target ditetapkan tinggi. Standar kesuksesan seolah diukur dari siapa yang lebih dulu berhasil, siapa yang lebih cepat sampai, dan siapa yang paling sering terlihat hebat di hadapan publik. 

Kita melihat orang lain berlomba-lomba memperlihatkan pencapaian mereka karier gemilang, gelar akademis, bisnis sukses, hingga pencitraan sempurna di media sosial.

Lalu kita mulai bertanya dalam hati, aku di mana? Kok aku masih di sini-sini saja?

Pertanyaan itu bukan sekadar cermin kegelisahan, tapi juga jeritan sunyi dari mereka yang sedang berjuang pelan-pelan di balik layar.

Saya Pernah Merasa Tertinggal

Sebagai mahasiswa yang juga aktif menulis, saya dulu sering membandingkan diri dengan teman-teman yang artikelnya cepat viral, masuk media nasional, atau menang lomba kepenulisan. 

Sementara saya, sudah berulang kali menulis, tapi sepi pembaca. Saya pun mulai meragukan diri apakah aku tidak cukup berbakat? Apakah aku harus menyerah saja?

Namun ternyata, dari setiap proses kecil itu, saya belajar satu hal penting kecepatan bukanlah segalanya konsistensi jauh lebih berharga. Bukan siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tidak berhenti berjalan.

Saya teringat satu momen ketika saya menulis artikel di Kompasiana dengan penuh kesabaran, merevisi berkali-kali, dan membacanya ulang hingga larut malam.