Mohon tunggu...
Bernard Simamora
Bernard Simamora Mohon Tunggu... Jurnalis - Wiraswasta, dosen, guru, pendiri dan pengelola beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi di Bandung, Pengamat sosial politik dan pendidikan.

Wiraswasta, dosen, guru, pendiri dan pengelola beberapa sekolah menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tinggi di Bandung, Pengamat sosial politik dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghujat Menjelekkan Jokowi

6 Juni 2014   00:26 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:08 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menghujat memang asyik, karena bisa merasa puas sendiri bak masturbasi tanpa rasa bersalah. Menghujat sejatinya adalah suatu perilaku tidak bertanggungjawab karena cenderung menyalahkan, mencari-cari kesalahan, menghakimi, mengadili orang lain atas alasan yang belum tentu objektif. Menghujat menjadi “halal 100%” manakala ia menjadi salah satu cara perebutan pengaruh dan kekuasaan, meski sarat dengan kalimat yang mengada-ngada bahkan sudah tahu itu salah pun, asal dapat menengalahkan yang dihujat dan membenarkan diri sendiri atau kelompoknya. Menghujat sederhananya adalah menjelekkan pihak lain agar lebih rendah atau setingkat dengan diri yang miskin prestasi.

Lebih asyik lagi bila yang dihujat itu orang baik dan tulus. Penghujat bakal dimaafkan tanpa meminta maaf, bakal tetap disenyumi “nothing to lose” alias tulus “menikmati” hujatan. Begitu pun, penghujat bukan malah berhenti, tetapi malah menjadi-jadi, meski bak cinta bertepuk sebelah tangan. Andai saja cukup masa kala hujatan diuji waktu, dan kita gegas melawan lupa, maka “belangnya” bakal kebongkar jua. Sayangnya, seringkali hujatan dapat mempengaruhi kita untuk merubah sikap dan pilihan kita.

Itulah yang tengah dialami Joko Widodo atau Jokowi, sang satria piningit yang “setelah melalui penelusuran informasi yang memadai” dan melihat rekam jejaknya selama sembilan tahun terakhir tersimpulkan, ia adalah manusia tulus ikhlas pekerja keras dan mengabdi pada sesama tanpa embel-embel untuk kepentingan diri sendiri.

Dalam pengabdian Jokowi mulai dari Walikota hingga Gubernur, bekerja demikian baik dan dihargai justeru ia menuai banyak hujatan. Dan hujatan yang dialami Jokowi bahkan sangat mengada-ada hingga agamanya, wajahnya, KJS-nya, KJP-nya, pidatonya, dan hal-hal yang “tidak penting” lainnya. Terlebih setelah penetapannya menjadi Calon Presiden. Mengapa ia harus mengalami hal seperti itu dalam pengabdian tanpa pamrihnya? Kata orang pintar, di tengah kumpulan orang sinting, yang gila dianggap waras; Ditengah komunitas orang jahat, orang baik dianggap tolol. Mengapa Jokowi perlu dihujat?

Pertama, dari segi prestasi selama menjadi pejabat publik, Jokowi tak terkalahkan. Jokowi menuai simpati dimana-mana, bukan saja di Solo atau Indonesia, tetapi di dunia internasional meski bukan itu keinginannya. Dari segi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, Jokowi bersih. Ketegasan, Jokowi bahkan mengalahkan Prabowo (lihat sikapnya terhadap SBY saat meluncurkan mobil murah, terhadap penghalang pemebenahan Jakarta, terhadap Aburizal saat gagas koalisi, dll). Dari segi style, majamenen pemerintahan dan kepemimpinan, Jokowi telah menjadi trendsetter pemimpin di Indonesia. Mari kita bayangkan popularitas dan kepercayaan publik kepada SBY, Megawati, ARB, Hatta Rajasa, SDA, Marzuki Alie, Anas, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Kapolri, bahkan Panglima TNI, dan seluruh tokoh nasional lainnya dilewati Jokowi hanya dalam 24 bulan. Siapa yang tidak iri?

Kedua, partai, ternyata tidak mewakili konstituen di akar rumput. Meski dalam Pilpres Prabowo-Hatta didukung 48,93 persen suara partai dan Jokowi-JK hanya didukung 38,97 persen, siapa pun, termasuk tim Prabowo-Hatta tidak yakin mendapat suara sebanyak itu dalam Pilpres nanti. Hal itu diakibatkan oleh ketidakpercayaan mayoritas publik terhadap partai politik saat ini, yang berdasarkan hasil survei Polcomm Institute, Februari 2014, mencapai 58,2 persen tidak percaya parpol, dan hanya 26,3 persen masih percaya.

Hal itu diperkuat pula hasil survey LSI Mei lalu, dimana, meski kuat dalam hal koalisi, ternyata itu tidak terbukti dalam hal dukungan pemilih. Jokowi-JK justru unggul dari Prabowo meski tak dapat dukungan dari elite partai besar. Dari sisi euforia dukungan pemilih kepada Jokowi-JK lebih besar. 68,5 persen responden mendukung Jokowi, sedangkan Prabowo hanya 15,3 persen. Kubu Prabowo-Hatta tentu saja ketar-ketir. Maka, untuk membelokkan pemilih dari Jokowi harus beri racun, yaitu menebar hujatan secara intens.

Ketiga, kepercayaan publik terhadap politisi, apalagi yang pernah bercokol di senayan juga sangat minim. Hasil survei Institut Riset Indonesia (Insis) September 2013, menunjukkan mayoritas publik tidak puas dengan kinerja anggota DPR periode 2009-2014. Sebanyak 60,9 persen responden menilai kinerja anggota Dewan tidak baik dan 16,1 persen semakin tidak baik. Padahal, koalisi besar dalam pilpres tentunya berisi tim sukses politisi yang banyak, yang bahkan banyak rakyat sudah apriori terhadapnya. Sementara dalam koalisi langsing ala Jokowi mayoritas tim sukses relawan dan bukan politisi. Sedangkan yang paling pintar besilat lidah dan hujat menghujat adalah politisi. Tidak adanya prestasi yang dapat dibanggakan seorang politisi, maka kemahirannya bersilat lidah dimainkan untuk menjelekkan yang lain agar pihaknya terasa unggul dan elektabel.

Keempat, meski segala macam organisasi telah diraih koalisi merah putihnya Prabowo-Hatta dan didukung dana yang cukup besar, ternyata tidak menjamin akan mendapat simpati pemilih. Organisasi sekaliber partai saja masih disangsikan pengaruhnya terhadap anggota, apalagi berbagai organisasi tanpa kaderisasi. Kepala boleh kepegang, tetapi dari leher hingga ekornya bisa belok ke tetangga. Bukankah Golkar, PPP, dan berbagai organisasi terpecah dan sebagian (besar?) mendukung Jokowi? Dengan kenyataan ini, anggota organisasi pendukung pun harus dipengaruhi dengan “racun Jokowi”.

Indonesia sebagai negara beradab, sejatinya tidak memiliki akar budaya menghujat. Bukankah di Indonesia “Bau busuk” hanya disebut “bau kurang sedap”, dan “benci” disebut “kurang senang”? Masyarakat yang awam politik, petani, nelayan, pekerja, dan para manusia terdidik dan insan pendidikan tidak berkesempatan serta tidak terampil menghujat, dan sejatinya benci hujatan dan penghujat. Faktanya, dukungan terhadap Jokowi itu ada di hati rakyat Indonesia karena telah “menemukan” pemimpin yang tulus, iklas, bekerja keras, sederhanya, apa danya buka ada apanya. Ini yang menjadi kekawatirkan besar para penikmat dan hunter kekuasaan. Informasi yang salah, persepsi buruk, dan penghancuran profil Jokowi sengaja disebarkan untuk melawan kata hati pemilih awam.

Pilpres 2014 dengan dua pasang kandidat, menyimbolkan pertarungan sengit elit dan politisi yang sarat intrik dan kepentingan di satu pihak, melawan rakyat jelata berbekal hati nurani dan kerinduan atas kehidupan berbangsa yang lebih baik. Siapa bakal memenangkan? Rakyat yang menang. Kita tahu, hak pilih seorang profesor bahkan presiden sama saja dengan hak pilih seorang tukang kebon. Elit dan politisi boleh bicara sehendaknya, rakyat pemilih cukup dengan meyakini nurani dan akal sehatnya. Biarlah hujatan bertubi-tubi, bagai anjing menggonggong kafilah berlalu. Hujatan kiranya tidak sanggup dan tidak mampu menggoyahkan pendirian dan merubah pilihan kita. Kebenaran, kejujuran, ketulusan, keihlasan, dan kerja keras, serta itikad baik harus kita menangkan bersama-sama! Salam kemenangan!

Bandung, 5 Juni 2014

Bernard Simamora

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun