Sore menyelami malam, menarik selimut malam yang menutupi kelap-kelip bintang-bintang. Tanpa awan ataupun polusi jalan, langit di desaku benar-benar indah dan menawan. Lukisan yang akan selalu kurindukan. Namun lukisan itu hanya akan menjadi mimpi indah di semesta bawah sadar. Karena para binatang buas akan segera membangunkan ku dari mimpi yang indah ini.Â
  Sehabis magrib, rumahku dikunjungi beberapa awak berseragam hitam nan rapi. Ia berbincang dengan kepala desa, yaitu ayahku sendiri. Sesekali, terdengar gelak tawa yang menggetarkan rumah bambu ini.  Menyebalkan! Ingin segera kusir dari rumah dan desa ini.Â
  Ketika rasa penasaran sudah diujung tanduk. Menguping percakapan mereka adalah satu-satunya obat bagiku. Dan betapa kagetnya diriku, saat mendengar bahwa para awak berseragam itu hendak mendirikan sebuah pertambangan. Eh, mana kutahu apa itu pertambangan yang dimaksud.Â
  Tiba-tiba, aku dikagetkan dengan suara bapak yang memanggilku. "Pian! Kemari, nak!" Awalnya kuacuhkan panggilan itu dan berpura-pura tak dengar. Kemudian, bapak malah menyuruh ibu untuk memanggilku ke belakang. Ibu pun datang dengan wajah yang masam. "Pian, ayahmu panggil noh! Kau ak dengar kah?" Ibu pun pergi dan aku mengikur di belakangnya. Aku pun datang dengan wajah tidur yang dibuat-buat.Â
 "Ahh, udah tidur aja kau Pian! Tumben sekali?" Tukas Bapak sambil menepuk-nepuk pundakku. Sedikit lemah, tapi perasaan apa ini? Tertekan.
 "Ini kawan bapak dulu sewaktu Sekolah Dasar, paman Jim. Sekarang, paman mu ini sudah jadi kepala di perusahaan T. Dan sekarang, perusahaan T akan bekerjasama dengan warga desa ini untuk mengolah kekayaan alam yang melimpah. Kamu, akan jadi salah satu pegawainya nanti. Bagus bukan?" Jelas ayah.Â
  Aku terdiam, tiada menjawab. Karena mau dijawab, takut salah pula. Antara  prinsipku tentang alam, atau tentang prinsip pemimpin desa ini. Aku tak menjawab, dan diam seribu bahasa.Â
  "Ohh, gak papa. Kamu pasti bingung kan? Yang penting, paman Jim ini akan membawa perubahan yang besar pada desa kita ini. Desa ini akan berevolusi menjadi sebuah kota yang besar dan ramai nantinya. Dan diatas itu semua, kitalah yang berjasa sebagai pencetus gerakan ini. Berterimakasih lah pada paman Jim, Pian!" Ungkapnya sambil menekuk kepalaku supaya sedikit membungkuk kepada awak berseragam tersebut.Â
  Aku pun menurut tiada berdaya. Namun, aku tiada mau terperdaya. Sadar bahwa teman bapakku ini sedang menyaksikan pertunjukan yang menarik, membuatku semakin kesal. Bagaimana cara mempermalukan orang-orang ini ya? Apakah ada yang bisa melawan balik ucapannya yang sarkas?Â
  "Wah, wah, wah. Sungguh keluarga yang Cemara ya, Rus!" Tukasnya sambil tersenyum ke arahku. Sorot matanya tajam seperti sedang seekor elang yang menyeleksi santapannya.Â
  "Sebenarnya, aku sedikit menolak keputusan ini bapak-bapak. Apakah memang betul proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi kami?" Tukas ibu menyelamatkan perasaanku. Mendengar perkataan ibu, ayah lantas menatapnya tajam.Â
 Pak Jim tersenyum sampai menampakan giginya yang menguning. Mungkin karena konsumsi tembakau berlebihan. Ia berkata, "Bu, yakinlah. Proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat desa ini. Penggambarannya, para buruh tambang akan bekerja setiap hari dari pagi hingga sore, atau dari sore hingga pagi. Bebas, masyarakat yang tentukan. Untuk gaji pokoknya, uihh, jangan ditanya! Guede pisan!! Tinggi gajinya! Mau tahu? Mau tahu?"Â
 Ibu menganggukkan kepalanya. Sedangkan ayah, tersenyum lebar. Wah, gawat!
 "Gaji pokoknya sepuluh juta per bulan. Luar biasa sekali bukan?"
 Ayah, pak Jim dan suruhannya menganggukkan kepala mereka, keatas kebawah, keatas kebawah. Menyeramkan.Â
 "Gede juga ya.." gumam ibu sambil melirik ke arahku. Dengan sigap langsung kuberi kode dengan mengerutkan dahiku. Ibu pun mengangguk.Â
 "Aku masih belum sepakat proyek ini dibuka di desa ini. Lagi pula, kami lebih senang kehidupan yang asri dan segar. Kalau pertambangan telah dibangun, pasti akan berdampak buruk untuk alam nantinya. Kita harus menyayangi alam." Ujar Ibu penuh dengan cahaya harapan, untukku.
  "Hahaha! Kamu sudah terdengar seperti Petapa saja, Bu." Tukas Pak Jim tertawa begitu pun bapakku sendiri. Menyeramkan. Gawat.
  " Alam itu memiliki sistemnya sendiri, Bu." Lanjutnya.
  "Ketika alam dikorek, maka secara otomatis akan kembali pulih. Maka tidak akan merugi jika kita sedikit menguliti kayu yang sudah tua bukan? Toh kayu juga butuh pemurnian kembali."Â
 "Maksudnya? Kayu mau ditebangi?" Potong ibu.
 "Bukan, bukan... Maksudnya, kayu juga butuh perawatan dengan cara menebanginya dan menggantinya dengan kayu baru. Atau, tanah membutuhkan jasa manusia untuk mengeluarkan kotoran yang mengendap di kulitnya. Sama halnya seperti manusia, kadang suka pencet-pencet hidung untuk mengeluarkan komedo bukan? Ya, itulah sederhananya." Ujarnya seolah apa yang diberitahukannya telah benar.Â
 Ibu pun terdiam memandangiku. Bingung dan cemas. Aku pun begitu. Dengan jantung yang berdebar-debar, aku memberanikan diri untuk angkat suara. Aku tidak peduli lagi, bilamana nanti tahan ayah mendarat di pipiku. Dan aku tak peduli, apabila pak Jim ini akan memusuhiku nantinya. Demi mimpi indah ini, bintang-bintang yah gemerlapan dan hutan yang sejuk lagi segar, akan kukerahkan segala usahaku.Â
 "Bapak, paman Jim! Saya menolak keras proyek ini. Saya yakin ini tidak akan memberikan dampak baik untuk desa ini. Malahan, ini dapat merusak keindahan desa yang sudah seperti surga ini. Saya menolak keras! Dan saya berani menyampaikan dan mengajak orang-orang untuk menolak ajakan ini. Orang-orang pun tidak akan rela kehilangan kenangannya masing-masing." Mereka semua bengong melihatku. Seperti tak menyangka. Sedangkan Jim tersenyum remeh kepadaku.Â
 "Saya harap paman Jim pergi saja kembali dari desa ini ke kota. Dengan harapan, berhenti untuk merusak keindahan alam negri ini. Pulanglah!" Ujarku sambil menunjuk ke pintu keluar. Tiba-tiba, kepalaku pun ditampeleng bapak.Â
 "Woy,enak aja nyuruh orang pulang. Emangnya ini rumahmu? Mana sopanmu?" Tukas bapak penuh emosi. Aku pun haya turut menerima cemohannya yang sudah biasa ia ucapkan dikala marah. Seperti, anjing', unggas, cicak, dan jenis binatang lainnya.Â
 "Sudah, sudah.." Ujar Pak Jim melerai.Â
 "Saya kagum dengan keberanian anakmu. Okelah kalau memang tidak setuju Dengan proyek ini. Mungkin sekarang tak setuju. Besok bisa jadi setuju. Tetapi, kesempatan jarang yang datang dua kali. Dan termasuk untuk sahabatku juga. Oleh karena itu, pikir-pikir lah dulu, Rusli. Keputusanmu akan membawa orang-orang di sekitarmu menuju keamanan atau kebinasaan. Lain kali aku akan berkunjung untuk menawarkan kerjasama lagi. " Jelasnya.Â
 Bapak pun jadi murung. Ketika pak Jim hendak berdiri, bapak pun gelisah dan mengatakan untuk tida buru-buru pulang. Namun, pak Jim bilang dia masih ada undangan yang harus dipenuhi. Pak Jim pun pulang tepat azan isya berkumandang. Sebelum pulang, ia sempat memberikan amplop yang lumayan tebal kepada bapak. Walaupun begitu, bapak masih saja kecewa dengan keinginannya yang tidak tercapai.Â
Keesokan harinya, bapak mengerutkan dahinya sepanjang hari. Ia tak pernah lagi berbicara kepadaku sejak semalam. Namun, saat aku di toilet, bapak pun mengetuk-ngetuk pintu menyuruhku untuk segera keluar. Aku pun menyahut, "ya, bentar lagi pak!", lalu tertawa cengingisan. Karena kupikir, bapak benar-benar akan menahan diri untuk berbicara kepadaku selama-lamanya. Akhirnya, aku pun legah karena untuk saat ini, aku masih mampu mempertahankan keindahan alam desa ini.Â
Senin, 31 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI