"Sebenarnya, aku sedikit menolak keputusan ini bapak-bapak. Apakah memang betul proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi kami?" Tukas ibu menyelamatkan perasaanku. Mendengar perkataan ibu, ayah lantas menatapnya tajam.Â
 Pak Jim tersenyum sampai menampakan giginya yang menguning. Mungkin karena konsumsi tembakau berlebihan. Ia berkata, "Bu, yakinlah. Proyek ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat desa ini. Penggambarannya, para buruh tambang akan bekerja setiap hari dari pagi hingga sore, atau dari sore hingga pagi. Bebas, masyarakat yang tentukan. Untuk gaji pokoknya, uihh, jangan ditanya! Guede pisan!! Tinggi gajinya! Mau tahu? Mau tahu?"Â
 Ibu menganggukkan kepalanya. Sedangkan ayah, tersenyum lebar. Wah, gawat!
 "Gaji pokoknya sepuluh juta per bulan. Luar biasa sekali bukan?"
 Ayah, pak Jim dan suruhannya menganggukkan kepala mereka, keatas kebawah, keatas kebawah. Menyeramkan.Â
 "Gede juga ya.." gumam ibu sambil melirik ke arahku. Dengan sigap langsung kuberi kode dengan mengerutkan dahiku. Ibu pun mengangguk.Â
 "Aku masih belum sepakat proyek ini dibuka di desa ini. Lagi pula, kami lebih senang kehidupan yang asri dan segar. Kalau pertambangan telah dibangun, pasti akan berdampak buruk untuk alam nantinya. Kita harus menyayangi alam." Ujar Ibu penuh dengan cahaya harapan, untukku.
  "Hahaha! Kamu sudah terdengar seperti Petapa saja, Bu." Tukas Pak Jim tertawa begitu pun bapakku sendiri. Menyeramkan. Gawat.
  " Alam itu memiliki sistemnya sendiri, Bu." Lanjutnya.
  "Ketika alam dikorek, maka secara otomatis akan kembali pulih. Maka tidak akan merugi jika kita sedikit menguliti kayu yang sudah tua bukan? Toh kayu juga butuh pemurnian kembali."Â
 "Maksudnya? Kayu mau ditebangi?" Potong ibu.