"Bukan, bukan... Maksudnya, kayu juga butuh perawatan dengan cara menebanginya dan menggantinya dengan kayu baru. Atau, tanah membutuhkan jasa manusia untuk mengeluarkan kotoran yang mengendap di kulitnya. Sama halnya seperti manusia, kadang suka pencet-pencet hidung untuk mengeluarkan komedo bukan? Ya, itulah sederhananya." Ujarnya seolah apa yang diberitahukannya telah benar.Â
 Ibu pun terdiam memandangiku. Bingung dan cemas. Aku pun begitu. Dengan jantung yang berdebar-debar, aku memberanikan diri untuk angkat suara. Aku tidak peduli lagi, bilamana nanti tahan ayah mendarat di pipiku. Dan aku tak peduli, apabila pak Jim ini akan memusuhiku nantinya. Demi mimpi indah ini, bintang-bintang yah gemerlapan dan hutan yang sejuk lagi segar, akan kukerahkan segala usahaku.Â
 "Bapak, paman Jim! Saya menolak keras proyek ini. Saya yakin ini tidak akan memberikan dampak baik untuk desa ini. Malahan, ini dapat merusak keindahan desa yang sudah seperti surga ini. Saya menolak keras! Dan saya berani menyampaikan dan mengajak orang-orang untuk menolak ajakan ini. Orang-orang pun tidak akan rela kehilangan kenangannya masing-masing." Mereka semua bengong melihatku. Seperti tak menyangka. Sedangkan Jim tersenyum remeh kepadaku.Â
 "Saya harap paman Jim pergi saja kembali dari desa ini ke kota. Dengan harapan, berhenti untuk merusak keindahan alam negri ini. Pulanglah!" Ujarku sambil menunjuk ke pintu keluar. Tiba-tiba, kepalaku pun ditampeleng bapak.Â
 "Woy,enak aja nyuruh orang pulang. Emangnya ini rumahmu? Mana sopanmu?" Tukas bapak penuh emosi. Aku pun haya turut menerima cemohannya yang sudah biasa ia ucapkan dikala marah. Seperti, anjing', unggas, cicak, dan jenis binatang lainnya.Â
 "Sudah, sudah.." Ujar Pak Jim melerai.Â
 "Saya kagum dengan keberanian anakmu. Okelah kalau memang tidak setuju Dengan proyek ini. Mungkin sekarang tak setuju. Besok bisa jadi setuju. Tetapi, kesempatan jarang yang datang dua kali. Dan termasuk untuk sahabatku juga. Oleh karena itu, pikir-pikir lah dulu, Rusli. Keputusanmu akan membawa orang-orang di sekitarmu menuju keamanan atau kebinasaan. Lain kali aku akan berkunjung untuk menawarkan kerjasama lagi. " Jelasnya.Â
 Bapak pun jadi murung. Ketika pak Jim hendak berdiri, bapak pun gelisah dan mengatakan untuk tida buru-buru pulang. Namun, pak Jim bilang dia masih ada undangan yang harus dipenuhi. Pak Jim pun pulang tepat azan isya berkumandang. Sebelum pulang, ia sempat memberikan amplop yang lumayan tebal kepada bapak. Walaupun begitu, bapak masih saja kecewa dengan keinginannya yang tidak tercapai.Â
Keesokan harinya, bapak mengerutkan dahinya sepanjang hari. Ia tak pernah lagi berbicara kepadaku sejak semalam. Namun, saat aku di toilet, bapak pun mengetuk-ngetuk pintu menyuruhku untuk segera keluar. Aku pun menyahut, "ya, bentar lagi pak!", lalu tertawa cengingisan. Karena kupikir, bapak benar-benar akan menahan diri untuk berbicara kepadaku selama-lamanya. Akhirnya, aku pun legah karena untuk saat ini, aku masih mampu mempertahankan keindahan alam desa ini.Â
Senin, 31 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI