Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Sumber: pexels.com

Perlahan, aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah. Aku berkata dengan suara agak keras, “ ayah, ayah listriknya padam. ” Pasti ayah sudah tertidur sangat lelap, pikirku. Biasanya ayah mengkonsumsi obat tidur supaya tidurnya lebih nyenyak. Sudah pasti ayah tidak mendengar suaraku. Aku berusaha mencari senter di kamar ayah. Sepertinya tidak ada, padahal seingatku ayah meletakkannya di atas meja kerjanya di dalam kamar. Alternatif lain adalah aku harus mencari lilin. Iya ada di dapur, ayah biasa meletakkannya di lemari gantung bagian paling pojok di dapur. Aku keluar dari kamar ayah, kemudian berjalan menyusuri lorong dan menuju dapur. Aku berdiri di atas sebuah kursi plastik, lalu meraba bagian pojok lemari gantung yang berada di dapur dan menemukan sebuah kotak. Ini dia, pasti kotak berisi lilin. Aku mengambilnya dan membuka kotak itu. Ada empat buah lilin di dalamnya. Kemudian aku menuju kompor dan menyalakan kompor.

Kunyalakan lilin dari api kompor. Terangnya lilin ini setidaknya bisa membuatku lebih tenang. Karena ada cahaya yang dihasilkannya. Kemudian aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah. Aku berusaha membuka kamar ayah. Tetapi agak macet pintu itu, saat aku bersikeras untuk membukanya. Tangan kiriku memegang lilin dan tangan kananku masih berusaha membuka pintu kamar ayah. Percuma saja pintu ini tiba-tiba macet. Aku mulai merasakan ada aura negatif lagi di sekelilingku. Benar saja, tiba – tiba ada bayangan yang muncul di belakangku. Bulu kudukku langsung berdiri. Bayangan itu sekejap membentuk sebuah asap hitam di lorong rumahku. Lilin ini merupakan satu-satunya peneranganku untuk melihat asap hitam yang tiba-tiba berubah bentuk. Asap itu membentuk dua sosok manusia yang sangat menyeramkan. Aku melihat asap itu sambil berusaha mengetuk pintu ayah dan memanggilnya berulang-ulang kali. Asap itu perlahan mendekatiku. Asap itu membentuk angin puting beliung dan berputar-putar mengelilingiku. Sesekali asap itu berusaha masuk ke dalam mulutku dan hidungku. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga. Supaya asap laknat itu tidak masuk ke dalam indera penciuman dan indera pengecapku.

Aku sampai kehabisan udara. Lilin yang kupegang nyaris padam, karena terpaan angin yang ditimbulkan asap berwujud mahkluk astral itu. Aku tidak sanggup, aku harus bergegas dan lekas beranjak dari tempatku berdiri. Sambil memegang lilin di tangan kiri, aku berusaha menerobos asap yang telah mengepungku. Kali ini, aku harus menang. Mahkluk-mahkluk halus itu tidak memiliki kuasa apapun atas diriku. Aku yang masih hidup, memiliki daya untuk menghalau segala gangguan-gangguan iblis ini. Dalam kondisiku yang sesak nafas dan kelelahan, aku berlari menyusuri lorong rumahku. Menaiki anak tangga, kemudian masuk ke dalam kamarku. Aku mengunci pintuku, memastikan kembali semua jendela telah terkunci. Aku berpikir keras, kira-kira apakah kelemahan mahkluk-mahkluk mengerikan ini. Apa yang bisa menghentikan kegilaan mereka menampakkan diri sesuka mereka ke hadapanku. Aku mulai flashback. Mengingat secara detail, setiap kejadian aneh di rumah ini, bila aku tertidur, setan-setan itu sesukanya bergentayangan dalam mimpiku. Kali ini, hal itu tidak akan kuperkenankan. Iya, satu-satunya jalan aku tidak boleh terlelap atau tertidur. Bila aku tertidur mereka mudah sekali menghantuiku dan masuk ke alam bawah sadarku. Aku harus tetap terjaga. Dan kali ini aku harus mendaraskan doa kepada Allah Subhana Wattaallah memohon keridohanNya, menjauhkan aku dari mahkluk-mahkluk terkutuk ini dan apabila Allah menghendaki supaya aku mengungkap kematian Roni atau pak Nazril, maka terjadilah sesuai dengan kehendak-Nya.

Aku duduk di pinggir tempat tidur. Aku memejamkan mata. Aku berdoa dari dalam hati memohon perlindungannya. Supaya aku bisa melewati malam yang mengerikan ini. Dan berharap dengan sangat supaya besok aku bisa lebih tenang dalam menjalani hidupku. Sesudah mengucapkan ayat-ayat suci, seakan – akan aku memiliki power untuk keluar dari dalam kamarku. Perlahan aku menekan tombol kunci supaya pintu kamarku segera terbuka. Membuka pintu dan mengeluarkan kepalaku untuk melihat kondisi sekitar, aku menuruni anak tangga dan menuju ke bawah.  Aku sampai di lorong, berjalan perlahan menuju dapur. Menuangkan air mineral dari teko kecil yang terbuat dari kaca ke dalam gelasku. Aku menghabiskannya, lalu aku menuangkannya kembali untuk menghabiskan minumanku tahap yang kedua. Saat khawatir atau ketakutan muncul, biasanya aku menjadi sangat dehidrasi. Rasanya ingin kuhabiskan 1 galon air. Karena rasa haus ini tidak kunjung sirna.

Setelah minum, kuletakan gelasku di atas meja makan, menutupnya dengan tutup gelas yang terbuat dari melamin bercorak batik berwarna kuning kecoklatan. Aku berjalan kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu. Asap yang berbentuk sosok manusia itu seakan sirna, hilang di telan bumi. Kemudian aku membuka jendela yang berada di ruang tamu. Pandanganku tertuju pada tanaman depan rumahku. Sepertinya ada sesuatu di sana.

 

Sumber: m.liputan6.com
Sumber: m.liputan6.com

Bab XIII

Kena Kau

Aku melihat sekelebat bayangan melihatku dari jendela luar. Orang itu sepertinya berjalan menuju pekarangan belakang dan terdengar bunyi seperti batu besar yang tergeser. Aku berlari keluar untuk mengecek keadaan sekitar. Orang itu berhasil masuk melewati batu besar itu. Apa yang dilakukannya, pikirku. Orang itu mengambil sebungkus plastik hitam. Aku berusaha mengendap-endap dari belakang. Saat kuperhatikan, ia adalah pak Ilham. Pria itu mengambil sesuatu dari pintu rahasia yang berada tepat di pekarangan belakangku yang bisa menghubungkannya dengan ruang bawah tanah dan berusaha kabur membawa plastik itu. Aku merasakan sepertinya ada orang di belakangku. Ternyata Roni dengan wajah membusuk, tepat berdiri di belakangku. Memegang sebuah kampak dengan kedua tangan mungilnya.

Sekejap, ia mengarahkan kampak ke arah perut ayahnya dan mengambil kuda - kuda untuk menghujamkan kampak itu tepat di perut ayahnya. Aku berkata dengan lembut kepada Roni, “ Roni, pak Ilham adalah ayahmu. Ia tidak sengaja menghujamkan kampaknya kepadamu, karena sebenarnya Ia ingin membunuh pak Nazril. Arwah Roni tertunduk dan wajahnya nampak sedih. Pak Ilham berkata, “ Maafkan ayah nak, ayah memang tidak pantas untuk hidup. “ Ayah Roni merampas kampak itu dari Roni dan menhujamkan ke perutnya sendiri. Seketika itu juga darah segar mengalir dari perutnya, Ia terjatuh dan tewas di tempat seketika. Perlahan kuperhatikan arwah Roni terbang dan naik menuju ke langit. Arwahnya membentuk sebuah titik yang menyala – nyala dan hilang di lautan awan nan hitam disertai dengan kilatan dan gemuruh di angkasa raya. Aku berlari ke halaman depan rumahku karena shock dengan apa yang baru saja kulihat. Lutut - lututku gemetaran dan jantungku berpacu sangat cepat karena takut. Aku memanggil ayahku. Ayah muncul dari pintu ruang tamu. Aku memegang tangannya dan mengajaknya menuju kebun di belakang rumah. Ayah melihat pak Ilham tewas di sana. Ayah memelukku dan berkata, “ maafkan ayah karena tidak percaya dengan ceritamu. “  Ayah baru saja ditelepon polisi mengenai kejadian ini dan polisi berkata bahwa pembunuh Roni sudah diungkap. Pak Ilhamlah yang talah membunuh putranya sendiri. Ayah sendiri juga tidak percaya dengan kejadian ini.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun