Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Sumber: pexels.com

Kami berdua terdiam selama perjalanan. Kemudian aku melihat ayah yang sedang menyetir. Aku bertanya padanya, “ ayah, apakah ayah kelelahan? ” Ayah berkata, “ tidak sayang, memangnya kenapa? “ Aku melihat ayah sangat aneh karena wajahnya sangat pucat. Kemudian dari telapak tangan kanan dan kirinya, keluar semacam cangkang dan mirip dengan akar yang menjalar. Ayah membuka mulutnya dan serangga – serangga mengerikan keluar dari mulutnya. Saat aku melihat ayah, bola matanya tidak ada. Dari dadanya keluar seperti cangkang kepiting, dan kaos t-shirt nya robek seketika, celana jeansnya robek dan pahanya membesar. Ayah kemudian tertawa terbahak-bahak. Lendir hijau dan sangat kental keluar dari mulutnya. Gigi-giginya tanggal satu persatu, rambutnya rontok berjatuhan kemana-mana. Telinganya mengeluarkan cacing-cacing pita yang menjijikkan. Aku berteriak sekuat-kuatnya, “ tidak, turunkan aku sekarang juga. “    

“ Rifki, sayang kamu kenapa? “ Ayah memanggilku sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku kaget dan tubuhku berkeringat. “ Oh Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi. “ Ayah tetap menyetir di dalam kegelapan. Hanya sorot lampu mobilnya yang menerangi jalan raya. Aku berkata pelan, “ kira-kira kita sampai rumah jam berapa yah? “ Ayah melihat jamnya dan berkata 30 menit lagi kita akan tiba di desa Banyumanis. “ Ayah aku lapar, “ aku berkata pelan. Ayah membalas, “ Ok, kita akan berhenti di warung bubur ayam. Kamu mau kan.”  Aku menjawab “ Baik, yah.” Sambil mengacungkan jempolku tanda setuju. Ayah berusaha memperhatikan jalanan yang sangat gelap. Kemudian berusaha melihat palang Kilometer yang berwarna hijau. Untuk mencari warung tukang bubur ayam. “ Itu dia yah, “ aku berkata sambil menunjuk ke arah warung di pinggir jalan. Ayah meminggirkan mobilnya, memarkirnya di pinggir warung. Aku melihat kondisi warung itu agak menyeramkan karena tempatnya remang-remang sekali. Bahkan tidak ada pembeli lainnya di warung itu.

Ayah mematikan mesin mobil dan lampu sein depan, lalu kami turun dari mobil. Lalu ayah mengunci mobil secara otomatis dari remote kunci mobil yang dipegangnya. Kami berjalan memasuki sebuah warung kaki lima di pinggir jalan bertuliskan “ Bubur Ayam Umi Sinta “. Irama musik dangdut koplo terdengar di telinga dari sebuah radio kecil yang dinyalakan oleh warung tersebut, rasa kantukku seketika hilang karena musik ini benar-benar bisa meningkatkan adrenalinku. Kemudian kami berdua duduk di kursi kayu panjang dan ayah memesan dua mangkuk bubur ayam komplit dengan dua gelas susu coklat panas, sang penjual adalah seorang ibu tua dan seorang anaknya. Aroma bubur ayam sangat terasa ke dalam indera penciumanku. Perutku memang sudah sangat lapar sejak tadi. Setelah 6 menit kami menunggu, bubur ayam dihidangkan di hadapan kami. Disuguhkan empat menit setelah makanan keluar, susu hangat pun akhirnya keluar. Aku mengambil kecap dan menuangkan yang banyak ke mangkukku dan menuangkan sedikit samabal di dalamnya. Ayah mengambil sambal dan menuangkannya ke dalam mangkuknya. Kami berdua menyantap makan malam kami dengan lahap. Ayah bertanya padaku, apakah aku ingin tambah. Aku menggeleng, sambil berkata padanya, bahwa aku tidak mau tambah. Ayah mengacungkan jarinya dan berkata sang penjual bubur bahwa Ia minta satu mangkuk lagi untuknya. Rupanya ayah masih lapar. Hanya tiga menit menunggu, bubur ayam porsi yang kedua akhirnya keluar. Ayah menuangkan sedikit kecap dan sambal ke dalam mangkuknya. Selera ayah masih saja tinggi, Ia melahapnya dengan cepat.

Kami berdua telah menyantap bubur ayam kami masing-masing, lalu kemudian beralih ke susu panas yang telah dihidangkan. Sungguh nikmat, setelah makan bisa minum minuman panas. Karena perutku langsung terasa hangat. Ayah bertanya kepada ibu tua itu berapa semua makanan ini. Kemudian ayah membayarnya. Lalu kami keluar dari warung itu. Mataku tertuju pada bagian belakang mobilku. Aku seperti melihat ada seorang anak kecil seusiaku yang melihatku dari kejauhan. Iya, anak itu mirip sekali dengan Roni. “ Oh Tuhan, kenapa Roni mengikutiku sampai sejauh ini? Apakah penampakannya di rumahku belum cukup untuk menakutiku? Sungguh menyeramkan, pikirku. Aku tidak mau melihat lama-lama. Aku sudah yakin itu adalah Roni. Ayah sudah naik ke mobil dan, “ oh Tuhan, ternyata arwah Roni juga sudah duduk di kursi belakang mobil. ” Ucapku pelan. Ayah berkata, “ kamu bicara dengan siapa, Rifki? “ Aku berkata dengan lantang, “ oh tidak yah, aku tadi hanya bergumam saja.   

Aku tidak bisa berkonsentrasi untuk berbicara dengan ayah. Karena memikirkan Roni sedang berada di belakangku. Aku berusaha melirik sejenak ke belakang. Roni sedang duduk diam, wajahnya membiru sangat kaku. Sesekali Ia menyeringai ke arahku. Sorotan matanya menyeramkan. Sungguh mengerikan pemandangan di kursi belakang mobilku ini.

Mobil kami telah memasuki desa Banyumanis. Lalu menyusuri jalanan desa yang berbatu-batu. Sungguh melelahkan juga karena jalanan yang belum di aspal ini membuat kami seperti melakukan akrobat di dalam mobil. Aku tidak sabar untuk sampai rumah, karena aku harus buang air kecil. Ayah mengatakan sebentar lagi sampai. Jadi aku harus tahan. Akhirnya kami memasuki pekarangan rumah. Aku meminta kunci pintu rumah dari ayah, lalu aku turun dari mobil, membuka pintu rumahku dan berlari menyusuri lorong dan menuju kamar mandi. Lega sekali rasanya, akhirnya aku sudah buang air kecil. Aku keluar dari kamar mandi dan kembali keluar rumah, memberi aba-aba kepada ayah untuk memarkirkan mobilnya. Setelah itu ayah turun dari mobil dan bersama-sama denganku masuk ke rumah. Ayah mengunci pintu, lalu membantingkan tubuhnya di sofa. Baik aku dan ayah lalu membuka sepatu kets dan kaos kaki. Aku menaruhnya ke dalam rak sepatu dan ayahpun menyuruhku untuk menaruh sepatunya ke dalam rak sepatu. Ayah berkata padaku, bahwa Ia sangat kegerahan, jadi Ia mau mandi dulu.

Akupun menyusuri lorong, menaiki anak tangga dan menuju kamarku. Aku menutup jendelaku lalu menutup gorden, untung saja rumah ini dipasangi teralis. Bagaimana kalau tidak, pasti orang akan mudah keluar masuk ke dalam rumah ini, pikirku. Lalu aku duduk sejenak di atas tempat tidur, lalu berdiri dan membuka pakaianku. Kemudian menaruhnya ke dalam keranjang baju kotor. Aku masuk ke kamar mandi, mengambil odol dan sikat gigi, lalu menyikat gigiku. Kemudian aku membersihkan busa odol dari sikat gigiku dan berkumur. Setelah itu kunyalakan shower. Segarnya air yang keluar dan mengenai ubun-ubunku, membuatku sedikit kaget. Aku membubuhkan sabun cair dan menggosok tubuhku, lalu membilas tubuhku. Kemudian aku menarik handukku dari jemuran mini di samping pintu kamar mandiku. Aku mulai mengeringkan tubuhku dan mengenakan piyamaku. Aku menjemur handukku, kemudian duduk di atas tempat tidur. Aku mengambil majalah anak yang dibeli ayah sebelum kami pindah ke rumah ini. Biasanya, aku tertarik dengan cerpen yang ada di majalah ini. Aku mulai melihat daftar isi dan mencari di halaman berapa cerpennya. Aku bisa membaca cerita pendek ataupun cerita bersambung dari satu majalah ke majalah lain. Bahkan sampai larut malam. Bahkan ayah sering memarahiku, kalau aku membaca sampai larut malam. Apalagi, kalau esoknya aku harus masuk sekolah.

Asyiknya membaca di tempat tidur, aku bisa berimajinasi dengan sempurna dan berfantasi mengikuti alur cerita cerita pendek yang kubaca. Aku mendengar adanya aliran air di samping tempat tidurku. Saat aku berusaha duduk dari tempat tidur, dan kakiku menggantung dari atas tempat tidur. Aku sangat kaget, ternyata di bawah tempat tidurku. Darah kental membanjiri lantai kamarku. Bila aku ukur dari dinding kamarku, sepertinya darah kental ini sudah setinggi mata kakiku. Apa itu, aku melihat tangan, kaki, paha dan jari-jari tergenang bersama darah kental di kamarku. Aku sangat panik melihat hal itu. Kemudian dari bawah tempat tidurku muncul kepala dengan wajah yang rata. Aku berusaha berteriak tetapi mulutku tidak bisa dibuka. Apakah aku mulai berhalusinasi lagi. Aku berusaha berteriak lagi, tetapi percuma saja. Aku tidak bisa mengeluarkan suara.

Aku berusaha turun dari tempat tidurku. Berjalan perlahan, mengarungi banjir darah di kamarku yang kecil ini. Aku berusaha menghindari untuk tidak menginjak potongan-potongan tubuh yang berserakan di lantai. Aku berusaha membuka pintu kamarku. Tetapi aku tidak bisa membukanya. Sepertinya terkunci, aku berusaha mencari kuncinya tetapi tidak tergantung di pintuku. Aku menggedor-gedor pintu kamarku. Tetapi aku tidak bisa berteriak. Suaraku tidak keluar sama sekali. Genangan darah itu semakin meninggi dan sudah selututku. Aku semakin ngeri karena potongan demi potongan tubuh itu mendekati aku. Aku tidak kuat lagi. Seketika aku terbangun dari tidurku. Terima kasih Tuhan, ternyata aku hanya bermimpi, pikirku. Piyamaku basah kuyup. Aku melihat ke arah bawah ternyata tidak ada banjir darah. Aku membuka piyamaku dan menggantinya dengan piyama baru. Aku duduk sejenak di pinggir tempat tidurku dan membaca doa, memohon Allah untuk menjaga tidurku malam ini, menjauhkan aku dari mahkluk-mahkluk halus yang menggangguku, sejak kedatanganku ke rumah ini dan berharap besok pagi aku bisa bangun, sehat walafiat seperti biasa.    

Setelah doa, aku merasa tenang dan merebahkan diriku di tempat tidur.  Aku berusaha memejamkan mataku. Seperti biasa aku tidak bisa tidur dan aku merasa haus. Akibat keringat yang mengucur terlalu banyak membuatku mejadi dehidrasi. Aku memberanikan diri untuk membuka kamarku, menuruni tangga dan menyusuri lorong dan menuju ruang makan. Aku membuka kulkas, mengambil botol berisi air dan menuangkan air ke dalam gelasku dan meneguknya sekaligus. Sungguh terasa lega tenggorokanku. Aku membuka laci kulkas paling bawah. Aku mengambil tiga buah pisang dan menyantapnya perlahan. Kemudian aku menyusuri lorong dan menuju kamar ayah, aku mengetuk pintunya sambil berkata, “ ayah, apakah ayah sudah tidur? ” Ayah menjawab, dari dalam kamar. “ Belum Rifki, kemari nak. “ Aku masuk kamar ayah. Ayah sedang baring di tempat tidur dan menguap cukup lama. Aku berkata, “ ayah, aku tidur di sini lagi ya?” Ayah menjawab, “ ok, tapi jangan berisik ya. Karena besok ayah harus berangkat pagi. “ Aku mengangguk padanya tanda setuju. “ Aku tidak bisa tidur yah, “ aku berkata pelan. Aku tidur di samping ayah dan aku bercerita banyak kepada ayah. Ayah mendengarkan ceritaku sambil terkantuk-kantuk. Hmmhh, pasti ayah sudah mengantuk. Aku melihat ayah disampingku, ia sudah terlelap. Ya sudahlah, aku tidak mau cerita lagi, pikirku.

Aku tetap tidak bisa memejamkan mataku. Lalu aku bangkit dari tempat tidur dan mulai mencari-cari apakah ada ruang rahasia di kamar ayah. Aku berusaha mencari setiap lekuk, bahkan mencoba menginjak salah satu ubin berharap ada pintu yang terbuka. Tidak ada satupun yang terbuka. Aku mulai bosan dengan yang aku cari. Lalu aku berjalan keluar dari kamar ayah. Aku menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Duduk di sofa dan mengambil remote televisi dan menekan tombol on / off. Setelah itu aku mulai menekan tombol program dan menekan tanda panah atas atau bawah untuk mencari salah satu acara televisi kesukaanku dan biasanya memang diputar jam malam seperti ini. Iya sebuah film kartun yang mudah sekali mengocok perutku. Saat asyiknya sedang menonton televisi, tiba-tiba listrik padam. Aku berusaha bangkit dari sofa dalam kegelapan. Menyusuri lorong dan menuju kamar ayahku.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun