Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar: Sumber: pexels.com

Seketika aku merasa sangat lemas. Di lorong, aku melihat dua orang sedang berada di lantai, dengan kepala tertunduk ke bawah dan rambut menutupi wajah mereka. Sesekali ada angin yang mengibaskan rambut mereka. Wajah mereka terlihat sangat menyeramkan. Wajah membusuk dengan ulat-ulat menggeliat di pipi dan dahi mereka. Mereka menyeret tubuh mereka menuju arahku. Matanya merah menyala, menyorotkan kebencian dan kemarahan. Aku berusaha beranjak dari tempatku berdiri. Tetapi percuma saja, semakin kuat aku berusaha berjalan dan kabur, tetapi seperti ada yang menahan diriku supaya tidak beranjak dari sana.

Aku takut, kedua mahkluk astral itu hampir mendekatiku. Mereka menyeringai seperti ingin menyantapku. Gigi mereka berwarna hitam dan kotor. Menimbulkan aroma berbau busuk sehingga aku ingin muntah. Kedua lututku gemetaran, jantungku berdetak sangat cepat. Aku sangat mual, kepalaku pusing. Tiba-tiba aku terjatuh dan ada sebuah bayangan gelap menutupi seluruh tubuhku. Saat aku menengadah ke atas. Aku melihat seorang pria raksasa. Kepalanya saja hampir mengenai langit - langit rumah. Pria besar itu menatapku dengan tatapan kosong, matanya merah menyala. Dari jari - jarinya mengeluarkan kobaran api. Sepertinya kaki - kakinya tidak menyentuh tanah. Dari sekujur tubuhnya mengeluarkan api, dan aku bisa merasakan panas yang sangat menyengat. Karna bayangan itu seolah-olah berada dekat dengan aku. Aku berusaha menjauhi bayangan itu, tetapi bayangan itu seperti mengikatku dan membuatku tetap berdiri di sana. Pengaruh ikatan yang sangat kencang di kakiku membuatku rubuh, karena kakiku tidak mampu menopang diriku. Aku terjatuh. Perlahan aku mulai merangkak untuk menghindari bayangan itu. Karena panasnya membuatku tidak sanggup lagi. Aku berteriak, “ tinggalkan aku sendiri. “  Sekelebat bayangan itu seperti menghilang begitu saja. Aku mengehela nafas panjang, “ syukurlah. “ Lalu aku membanting diriku di sofa dan mencoba menenangkan diri.

Aku mencoba memejamkan mataku. Seketika itu juga, layar televisi menyala sendiri dan aku sontak kaget. Awalnya di layar televisi hanya berupa gambar semut tidak beraturan. Seketika, di layar televisi muncul seorang pria tua mengenakan kemeja garis-garis dengan memakai celana bahan. Lalu aku sangat panik. Ketika pria itu mengalami kejang-kejang di sertai batuk. Dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sekonyong-koyong, jari-jarinya membusuk dan tangannya lepas dari lengannya. Kaki dan pahanya lepas dari pangkal paha. Gigi-giginya berjatuhan. Bola matanya menggelinding keluar dari matanya. Mulutnya terbuka dan lidahnya memanjang keluar. Darah dan nanah keluar deras dari tubuhnya. Aku merasa ngeri sekaligus jijik dengan pemandangan yang kusaksikan dari dalam televisi.

Antara sadar dan tidak, aku melihat bahwa potongan demi potongan tubuhnya hampir keluar dari dalam televisi dan keluar dari kaca televisiku. Aku kaget, karena potongan-potongan itu benar-benar keluar dari layar televisi. Potongan demi potongan tubuh yang jatuh memenuhi ruang tamu. Ruang tamu bermandikan darah kental dan aku hampir muntah melihatnya. Aku bisa mencium aroma bau busuk yang sangat keras di ruang tamu. Aku segera beranjak dari sofa dan menuju pintu ruang tamu, berusaha lari keluar rumah. Pintu ruang tamu ini tiba - tiba terasa macet. Dan tidak bisa dibuka. Aku menggedor-gedor pintu berharap ada yang membukakan pintu untukku dari luar. Tetapi sepertinya di luar rumah lengang, tak ada orang.

Takutnya bukan main, potongan - potongan tubuh itu perlahan bergeser ke arahku. Potongan-potongan tubuh penuh dengan sayatan dan koreng mengelilingi luka - luka itu. Bau anyir, bau darah dan bau mayat busuk menyelimuti ruang tamuku. Benar-benar tidak masuk akal, bagaimana mungkin, pikirku. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku harus meninggalkan ruang tamu, aku berjalan menyusuri lorong dan menaiki anak tangga untuk menuju kamarku. Tiba - tiba pandanganku tertuju pada anak-anak tangga. Aku melihat genangan darah kental mengalir deras dari kamarku, hingga membasahi setiap anak - anak tangga. Anak tangga menjadi Licin dan membuatku hampir jatuh. Anak - anak tangga ini menjadi aliran sungai darah kental nan menjijikkan. Tiba - tiba aku menatap ke atas dan pintu kamarku, terbuka dan aku melihat seorang anak seusiaku keluar dari kamarku. Matanya sangat hitam dan darah mengalir deras dari kedua matanya. Ia melangkahkan kakinya dan berusaha menuruni anak tangga.

Pemandangan yang sangat mengerikan dan anak itu berusaha memegang pegangan tangga dengan tangan kanannya. Seketika juga, tangan kirinya lepas dari lengannya. Tangan itu jatuh tepat di atas kepalaku. Aku berteriak, “ tidakkkkk.” Aku berlari menyusuri lorong dan menuju ruang tamu, aku buka pintu ruang tamu dan ternyata, pintu itu dengan mudah terbuka. Aku berlari keluar dengan cepat dan menjauh dari rumahku. Aku berusaha mengatur nafasku dan berlindung di tempat yang agak jauh dari rumahku. Aku duduk sejenak di pos kamling desa untuk mengembalikan nafasku yang terengah-engah. Aku memberanikan diri untuk berlari kembali ke rumahku, setelah berada di luar rumah sekitar satu jam. Aku perlahan membuka pintu ruang tamu. Ya Tuhan, ternyata ruang tamuku sangat bersih, tidak ada satupun potongan tubuh manusia, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah, mengunci pintu. Lalu aku berjalan menyusuri lorong dan menuju anak tangga. Ternyata tidak ada setetes darahpun yang banjir di anak tangga. Apa ini, apakah aku berilusi lagi , pikirku.

Lalu, aku menuju ruang makan mengambil piring kotorku, bekas aku makan dan menuju dapur membawa piring kotorku dan mencucinya beserta dengan peralatan masak yang ayah gunakan tadi pagi. Tiba – tiba aku melihat ada sekelebat bayangan. “ Siapa di sana ? “ Teriakku. Aku segera beranjak dari kursiku menuju ruang tamu untuk mengecek kondisi sekitar dan memastikan kembali apakah sudah mengunci pintu ruang tamu dan mengunci semua jendela. Aku kembali ke ruang makan, mengambil sepotong kue bolu yang ayah bawa semalam, menyantapnya dengan cepat. Lalu menghabiskan sisa air jeruk hangat di gelasku, kuhabiskan setiap tetesannya. Antara takut dan lapar masih menghantuiku. Jujur saja, aku tidak bisa mengunyah kue bolu itu dengan tenang, aku merasa takut dan khawatir. Setelah selesai, aku segera mencuci gelasku. Dan menaruhnya di rak piring.

Tiba – tiba aku mendengar ada yang mengetuk rumah. Oh Tuhan, siapa lagikah ini, pikirku. Aku takut sekali. Aku berjalan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Aku mengintip dari jendela. Siapa itu, wah itu ibu. Aku langsung membuka pintu. Aku berteriak, “ ibu, bagaimana ibu bisa menemukan kami dan rumah ini.”  Ibu menjawab, bahwa ia bertanya pada instansi ayah dan menanyakan kepindahan ayah. Lalu ia mencarinya melalui internet dan akhirnya menemukan rumah ini. Aku memeluk ibu dan berkata padanya bahwa aku kangen padanya. Ibu juga memelukku. Ibu berkata bahwa ia juga kangen padaku. Aku berkata padanya, “ ibu, aku harap ibu bisa tinggal lama di rumah.” Ibu menjawab, bahwa itu tidak mungkin. Ia hanya sebentar di desa ini, karena besok ia harus masuk ke kantor lagi. Aku mengatakan banyak hal yang ingin aku ceritakan pada ibu. Aku ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibu dan ayah. Ibu duduk di sofa, kemudian ia menuntunku untuk duduk di sampingnya. Ia berkata, bahwa besok adalah hari penting baginya karena meeting besok itu sangat mempengaruhi promosinya untuk mencapai posisi Finance Director. Aku berkata, ya sudah bu. Bila memang pertemuan itu penting, mungkin kita bisa berkumpul bertiga lain kali. Ibu mencium keningku. Ibu berkata sambil tersenyum, “ terima kasih sayang, kalau kamu mengerti. “

Ibu melihat keadaan sekitar, ia bertanya apakah aku betah tinggal di sini. Aku menjawab bahwa, masih terlalu dini untuk mengatakannya. Karena aku baru beberapa hari di sini. Ibu kemudian melihat-lihat sekeliling. Bertanya bagaimana dengan kamarku. Aku menunjukkan kamarku. Ia berjalan menyusuri lorong dan menaiki anak tangga, dan aku mengikutinya dari belakang. Ia melihat - lihat keadaan kamarku. Ia bertanya, apakah ayah sering mengajakku jalan - jalan. Aku berkata bahwa kami baru pindah jadi aku belum pernah jalan - jalan dengan ayah. Ibu kembali lagi menuruni anak tangga dan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu kembali. Lalu aku berkata pada ibu, aku akan menelepon ayah. Ibu menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Ibu berkata bahwa ia tidak mau mengganggu ayah, yang mungkin saat ini sedang sibuk di kantor. “ Tapi ayah pasti akan mengerti, “ ucap diriku pelan. “ Tidak usah sayang, “ kata ibuku.

Kemudian ibu duduk di sofa dan mengecek barang bawaannya. Ia membawa beberapa plastik. Ia membawa bawaannya ke dapur dan aku mengikuti ibu dari belakang. Ibu membuka plastik itu dan mengeluarkan isinya. Ada beberapa buah segar di dalamnya. Berupa apel merah, anggur, pisang dan melon. Ibu lalu menuju dapur dan mengambil wadah buah - buahan yang ada di dapur dan meletakkan buah - buah itu di dalamnya. Ibu kembali ke ruang makan, lalu memasukkan wadah berisi buah - buahan itu ke dalam kulkas dan sisanya ke dalam plastik. Ibu berpesan padaku untuk mengatakan pada ayah, supaya ayah juga bisa mencicipi buah tangannya. Dan aku bisa mengambilnya setiap waktu, bila aku merasa lapar. Aku menggangguk.

Aku berkata pada ibu, bahwa aku tidak memerlukan barang - barang apapun. Aku tidak perduli apabila ibu akan membelikan aku barang paling mahal dan termewah sekalipun untuk aku. Yang aku butuhkan adalah kehadirannya di tengah - tengah kami, yaitu di rumah ini. Dan berkumpul kembali dengan ayah. Ibu terdiam sejenak. Sepertinya ia menitikkan airmata. Lalu ia menciumku. “ Kamu belum mengerti, sayang. Nanti tiba saatnya kalau kamu sudah besar, nanti ibu akan cerita ke kamu. “ Ucap ibuku pelan. Ia mengambil gelas dari dapur dan menuangkan air putih dan meminumnya. Ibu berkata, bahwa tibalah saatnya untuk ia berangkat sekarang. Ibu mencium keningku dengan lembut. Lalu ia berjalan menyusuri lorong dan menuju ruang tamu. Kemudian ibu membuka pintu. Di pekarangan rumah kami, terparkir mobil Toyota Fortuner milik ayah di bagian depan dan sebuah mobil Toyota camry keluaran terbaru di bagian belakang. Seorang pria yang kuduga adalah sopir ibu membukakkan pintu mobil dan mempersilahkan ibu untuk masuk ke dalam mobil. Aku melihat ibu, dengan air mata berlinangan dari matanya. Aku melambaikan tanganku. Aku berteriak, “ aku sayang ibu. “ Mobil itu keluar dari pekarangan rumah dan berjalan perlahan meninggalkan rumahku. Hembusan angin dan kesemarakan dedaunan hijau dan ranting –ranting tanaman merupakan saksi bisu melihat adegan drama keluargaku, yang aku sendiri tidak memahaminya. Kicauan burung-burung gereja dan keindahan dua ekor kupu - kupu yang mempertontonkan sayap-sayap cantiknya di pekarangan rumahku, ikut mengiringi perjalanan ibu ke kota. Sedihnya bukan main, itulah yang kurasakan saat ini. Sulit sekali bagi ibu untuk menyediakan waktunya untuk aku. Aku menutup pintu dan menguncinya. Sejenak aku berdiam di sana. Seperti tidak ada semangat untuk hidup.           

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun