Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Rokok Ilegal Merajalela, Negara Rugi, dan BPJS Kesehatan Tercekik Biaya

8 Oktober 2025   08:40 Diperbarui: 8 Oktober 2025   08:37 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Surabaya, Kamis (2/10/2025). Foto: Dok. Kementerian Keuangan 

Di balik sebatang rokok yang dinyalakan setiap detik, terselip ironi: satu sisi menjadi candu yang menenangkan, di sisi lain menyalakan bara masalah ekonomi dan kesehatan nasional. Data Kementerian Keuangan mencatat, potensi kehilangan penerimaan negara akibat peredaran rokok ilegal bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun . Angka itu bukan sekadar statistik; ia adalah potret kebocoran fiskal yang ikut membebani pembiayaan kesehatan publik.

Di sisi lain, BPJS Kesehatan kian terbebani oleh penyakit tidak menular akibat konsumsi rokok, seperti kanker paru-paru, jantung, dan stroke. BPJS menanggung sebagian besar klaim penyakit akibat rokok, dalam kisaran Rp 10--15 triliun per tahun  mendominasi klaim penyakit katastropik nasional. Ironisnya, sebagian rokok yang menjadi pemicu justru beredar tanpa membayar cukai---tanpa kontribusi apa pun terhadap kas negara.

Ilustrasi penyakit akibat merokok membebani BPJS Kesehatan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan 
Ilustrasi penyakit akibat merokok membebani BPJS Kesehatan. Foto: Fitra Andrianto/kumparan 

Rokok Ilegal: Dijual Bak Kacang Rebus, Laris di Pasaran

Fenomena rokok ilegal kini seperti "kacang rebus" di pasar tradisional---murah, mudah didapat, dan diminati masyarakat kecil. Kumparan News dalam artikel "Rokok Ilegal: Dijual Bak Kacang Rebus dan Laris di Pasaran" (6 Oktober 2025) menemukan bahwa banyak penjual bebas menjajakan rokok tanpa pita cukai di warung dan kios kecil. Harganya sangat miring, mulai dari Rp7.000--Rp10.000 per bungkus, jauh di bawah harga resmi.

Beragam jenis rokok ilegal yang dijual di jalanan sekitar Jakarta. Foto: kumparan 
Beragam jenis rokok ilegal yang dijual di jalanan sekitar Jakarta. Foto: kumparan 

Murahnya harga itu menjadi daya tarik utama, terutama di kalangan pekerja informal dan masyarakat berpenghasilan rendah. Namun di balik "murah" itu, negara kehilangan sumber pendapatan, industri resmi tertekan, dan masyarakat tetap terjebak dalam lingkaran konsumsi berisiko. Rokok ilegal bukan hanya persoalan ekonomi gelap, melainkan ancaman nyata bagi kebijakan fiskal dan kesehatan publik.

Siasat Negara Memerangi Rokok Ilegal

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tak tinggal diam. Dalam Kumparan News berjudul "Siasat Perangi Rokok Ilegal yang Merajalela" (6 Oktober 2025), pemerintah mengintensifkan Operasi Gempur Rokok Ilegal di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Tahun 2023 saja, terdapat lebih dari 5.000 kasus pelanggaran cukai dengan barang bukti puluhan juta batang rokok tanpa pita cukai.

Bea Cukai juga menggandeng pemerintah daerah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) untuk meningkatkan edukasi masyarakat dan menertibkan peredaran ilegal. Namun, efektivitas kebijakan ini kerap terbentur realitas di lapangan: permintaan tetap tinggi, aparat terbatas, dan pelaku terus beradaptasi dengan pola distribusi baru---dari penjualan online hingga sistem titip jual di warung kecil.

BPJS Kesehatan: Membayar Mahal Harga Sebatang Rokok

Beban pembiayaan BPJS Kesehatan menunjukkan paradoks: rakyat menuntut layanan kesehatan gratis, tapi sebagian masih memelihara kebiasaan merokok. Menurut Laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 sekitar 34,5% orang dewasa Indonesia menggunakan tembakau (termasuk laki-laki & perempuan)

Dampaknya sangat terasa di kas BPJS. Setiap tahun, penyakit katastropik menyerap sekitar 20--21% dari beban biaya BPJS, meski tidak semua penyakit itu disebabkan oleh rokok. Jika dihitung secara ekonomi, dana triliunan rupiah yang seharusnya bisa dialokasikan untuk pencegahan dan peningkatan mutu layanan kesehatan, justru habis untuk membiayai penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.

Dilema Fiskal dan Moral Bangsa

Masalah rokok ilegal menimbulkan dilema kompleks: antara kebutuhan menjaga penerimaan negara, perlindungan industri legal, dan tanggung jawab negara terhadap kesehatan rakyat. Pemerintah tidak menaikkan tarif cukai pada 2025, namun menaikkan Harga Jual Eceran (HJE) rokok rata-rata ~10% melalui penyesuaian kebijakan HJE, dengan harapan menekan konsumsi sekaligus menambah penerimaan negara. Namun, kebijakan ini tanpa pengawasan ketat justru membuka celah lebih lebar bagi peredaran rokok ilegal.

Dalam konteks ini, pengawasan dan edukasi menjadi dua kunci utama. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap batang rokok ilegal yang dibeli bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap pembiayaan publik---termasuk layanan kesehatan yang mereka butuhkan suatu hari nanti.

Menutup Asap, Menyelamatkan Masa Depan

Perang melawan rokok ilegal bukan hanya tanggung jawab Bea Cukai, melainkan gerakan kolektif. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, hingga tokoh masyarakat perlu bersinergi membangun kesadaran baru bahwa "murahnya rokok ilegal hari ini" berarti "mahalnya biaya kesehatan esok hari".

Jika kebijakan cukai rokok dijalankan dengan konsisten dan pengawasan diperkuat hingga ke akar distribusi, negara bukan hanya bisa menyelamatkan triliunan rupiah dari kebocoran, tetapi juga meringankan beban BPJS Kesehatan dan menyelamatkan jutaan nyawa dari penyakit yang bisa dicegah.

Sebuah bangsa besar semestinya tidak dikaburkan oleh asap kepentingan. Saatnya berhenti membakar masa depan demi sebatang rokok yang tak bercukai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun