Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Keracunan Massal MBG Merebak, Menkes Usulkan Gizi Jadi Mata Pelajaran Wajib

3 Oktober 2025   13:35 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:30 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: BGN dan Pemprov Jabar Evaluasi Program MBG di Jabar (Foto: www.bgn.go.id)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah sejatinya lahir dari semangat mulia: menghadirkan keadilan gizi bagi seluruh anak bangsa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Sejak digulirkan pada Januari 2025, MBG diharapkan mampu menjadi solusi jangka panjang mengatasi stunting, memperbaiki kualitas SDM, dan menutup kesenjangan akses pangan di sekolah-sekolah.

Namun, di balik niat luhur itu, belakangan publik dikejutkan oleh merebaknya kasus keracunan massal yang diduga bersumber dari makanan MBG. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, menyebutkan data yang mengkhawatirkan: tercatat 24 kasus keracunan massal dari Januari hingga Juli, tetapi jumlah itu melonjak menjadi 51 kasus hanya dalam periode Agustus hingga September. Artinya, dalam tempo sebulan, angka keracunan meningkat lebih dari dua kali lipat.

Fenomena ini bukan sekadar angka statistik. Di balik setiap kasus, ada anak-anak yang mengalami sakit, orangtua yang cemas, dan sekolah yang kelimpungan menghadapi situasi darurat. Lonjakan kasus juga mengundang pertanyaan serius tentang kualitas pengelolaan program MBG, mulai dari rantai distribusi, pengawasan mutu bahan pangan, hingga edukasi keamanan makanan di tingkat sekolah.

Ketika Niat Baik Tersandung Implementasi

Sejak awal, program MBG digadang-gadang sebagai ikon prioritas Presiden Prabowo Subianto dalam membangun generasi sehat dan berdaya saing. Namun, fakta lapangan memperlihatkan bahwa distribusi makanan dalam skala besar tidaklah sederhana. Kendala logistik, minimnya fasilitas penyimpanan, serta rendahnya kapasitas pengawasan mutu di daerah menjadi celah terjadinya keracunan massal.

Ilustrasi: MBG Posyando Kota Padang (Foto:www.bgn.go.id)
Ilustrasi: MBG Posyando Kota Padang (Foto:www.bgn.go.id)

Kasus yang merebak di sejumlah provinsi seolah menjadi alarm keras bahwa implementasi program sosial sebesar MBG tidak bisa hanya mengandalkan niat baik dan angka anggaran triliunan rupiah. Butuh mekanisme kontrol yang ketat, koordinasi lintas sektor yang solid, serta keterlibatan aktif masyarakat dalam memastikan mutu layanan gizi benar-benar sampai sesuai standar.

Kita patut bertanya: siapa yang bertanggung jawab ketika makanan bergizi gratis justru menjadi ancaman kesehatan bagi anak-anak? Apakah pemerintah daerah yang lalai mengawasi, penyedia katering yang abai standar higienitas, ataukah desain program yang terlalu tergesa tanpa mitigasi risiko?

Solusi Menkes: Gizi dan Keamanan Pangan Masuk Kurikulum

Di tengah sorotan publik, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengajukan sebuah gagasan menarik: menjadikan gizi dan keamanan pangan sebagai mata pelajaran wajib di sekolah. Menkes menilai, edukasi sejak dini akan membantu anak mengenali makanan yang tidak layak konsumsi, sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial dari bawah.

Menurut Budi, selama ini materi gizi hanya masuk ke dalam Kurikulum Merdeka secara opsional. Namun, dengan meningkatnya kasus keracunan MBG, perlu ada pendekatan lebih serius agar anak tidak hanya menjadi penerima makanan, tetapi juga mampu menjadi pengawas pertama atas apa yang ia konsumsi.

"Anak-anak bisa tahu, bahkan tanpa diajari gurunya: 'Pak, makanan ini sudah tidak sehat, jadi saya tidak makan.' Itu bagian dari kontrol," ucap Menkes dalam rapat dengan DPR.

Gagasan ini patut diapresiasi. Pendidikan gizi dan keamanan pangan bukan sekadar tambahan pelajaran, melainkan bagian dari literasi kesehatan yang mendasar. Di era di mana pola konsumsi anak semakin rentan terhadap makanan instan dan rendah nutrisi, sekolah seharusnya menjadi benteng pertama dalam menanamkan kesadaran gizi yang benar.

Menjaga Program MBG Tetap di Jalur

Meski demikian, menjadikan gizi sebagai mata pelajaran wajib hanyalah salah satu langkah jangka panjang. Persoalan akut yang dihadapi program MBG tetap menuntut perbaikan manajemen di lapangan. Ada setidaknya tiga hal yang mendesak:

  1. Penguatan Standar Pengadaan dan Distribusi
    Pemerintah pusat bersama daerah perlu memastikan seluruh rantai pasok MBG---dari pemilihan bahan, proses masak, hingga distribusi---mengikuti standar keamanan pangan. Penyedia layanan yang terbukti lalai harus dikenai sanksi tegas.

  2. Transparansi dan Pengawasan Publik
    Keterlibatan orangtua, komite sekolah, hingga masyarakat lokal penting untuk memperkuat kontrol. Transparansi menu, asal bahan, dan kualitas makanan seharusnya bisa diakses secara terbuka.

  3. Mitigasi dan Respons Cepat
    Kasus keracunan tidak boleh berulang karena lambannya respons. Setiap daerah perlu memiliki protokol darurat kesehatan dan jalur pengaduan yang cepat ditindaklanjuti.

Momentum Perbaikan

Keracunan massal MBG memang mencoreng semangat awal program ini. Namun, di balik musibah, ada peluang untuk memperbaiki sistem. Usulan Menkes tentang kurikulum gizi wajib menunjukkan kesadaran bahwa program pangan tidak cukup dilihat dari sisi logistik semata, tetapi juga harus ditopang literasi kesehatan di kalangan penerima manfaat.

Jika pemerintah berhasil mengubah pengalaman pahit ini menjadi momentum perbaikan, MBG tetap bisa menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Program ini seharusnya bukan hanya soal memberi makan gratis, melainkan membangun budaya gizi sehat yang berkelanjutan.

Kita berharap, lonjakan kasus keracunan MBG tidak lagi terulang. Anak-anak Indonesia berhak mendapat makanan yang sehat, aman, dan bergizi, tanpa rasa waswas. Usulan memasukkan gizi dan keamanan pangan ke dalam kurikulum sekolah adalah langkah strategis, tetapi tetap harus dibarengi dengan perbaikan tata kelola di lapangan.

Program MBG adalah janji besar negara kepada warganya. Jangan sampai janji itu berubah menjadi ironi. Di pundak pemerintah, masyarakat, dan sekolah, melekat tanggung jawab untuk memastikan makanan bergizi gratis benar-benar menjadi berkah, bukan bencana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun