Setiap tanggal 2 Oktober, bangsa Indonesia kembali merayakan Hari Batik Nasional. Momentum ini bukan sekadar seremoni, melainkan peringatan kolektif atas pengakuan UNESCO pada 2009 yang menobatkan batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Tahun 2025, Hari Batik Nasional terasa lebih istimewa karena mengangkat tema Batik Merawit. Istilah "merawit" mengacu pada motif batik yang rumit, detail, dan penuh kehalusan, sehingga menjadi metafora atas ketekunan, kesabaran, serta keindahan budaya Indonesia yang tak lekang oleh zaman.
Batik sebagai Identitas Kultural
Batik bukan hanya kain, melainkan bahasa simbolik yang merekam perjalanan sejarah bangsa. Motif parang melambangkan kewibawaan, kawung mengisyaratkan kesucian, sementara mega mendung dari Cirebon menyiratkan keteduhan. Kini, Batik Merawit tampil sebagai pengingat bahwa nilai-nilai luhur bangsa tercermin dalam setiap guratan canting dan pewarnaan alam yang diwariskan lintas generasi.
Sebagai identitas kultural, batik merekatkan bangsa dalam satu benang merah: keberagaman yang berpadu dalam keindahan. Di era globalisasi, ketika budaya populer kerap mendominasi, batik tetap bertahan sebagai penanda ke-Indonesiaan. Tidak berlebihan jika Bapak Joko Widodo saat menjabat Presiden RI dalam berbagai kesempatan diplomasi internasional memilih batik sebagai busana resmi, mengirim pesan bahwa Indonesia memiliki warisan adiluhung yang patut dibanggakan di panggung dunia.
Filosofi Merawit: Halus dan Rumit, Namun Indah
Tema Batik Merawit tahun ini memiliki makna filosofis mendalam. Kata "merawit" yang berarti rumit atau rinci, sesungguhnya merefleksikan cara bangsa Indonesia memandang hidup: penuh tantangan, tetapi dapat dihadapi dengan kesabaran dan ketekunan. Selembar batik merawit tidak lahir dari proses instan. Ia menuntut keterampilan tangan, ketelitian mata, serta konsistensi hati.
Filosofi ini relevan dengan situasi bangsa saat ini. Indonesia tengah menghadapi dinamika global yang kompleks, mulai dari tantangan ekonomi, perubahan iklim, hingga pergeseran geopolitik. Dengan semangat merawit, bangsa diajak untuk menenun masa depan dengan kesabaran, kehati-hatian, dan kerja kolektif. Seperti halnya motif batik yang detail, pembangunan bangsa juga memerlukan perencanaan yang cermat serta keteguhan moral agar menghasilkan keindahan yang lestari.
Batik sebagai Ekonomi Kreatif
Hari Batik Nasional juga momentum penting untuk menegaskan peran batik dalam ekonomi kreatif nasional. Menurut data Kementerian Perindustrian, industri batik menyerap ratusan ribu tenaga kerja dan berkontribusi pada ekspor produk tekstil bernilai jutaan dolar. Di balik popularitasnya, ada para perajin batik di Pekalongan, Solo, Lasem, Madura, hingga Papua yang menjaga denyut tradisi sambil berinovasi.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perajin batik masih menghadapi tantangan serius, seperti keterbatasan akses bahan baku, persaingan produk batik printing murah, hingga regenerasi pengrajin yang belum optimal. Di sinilah pentingnya peran negara melalui kebijakan keberpihakan---mulai dari perlindungan hak cipta motif, pemberdayaan UMKM batik, hingga integrasi batik dalam program ekonomi kreatif nasional.