Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aktivisme Gen Z: Gerakan Inklusif atau Sekedar Tren Sesaat?

20 September 2025   08:00 Diperbarui: 19 September 2025   08:25 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gen Z hadir dengan aktivisme inklusif (Foto: freepik.com)

Fenomena aktivisme di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z, belakangan semakin menonjol. Dari isu lingkungan hidup, kesetaraan gender, hak disabilitas, hak-hak minoritas, hingga solidaritas kemanusiaan lintas batas negara, mereka hadir dengan keberanian yang berbeda dari generasi sebelumnya. Anak-anak muda ini tidak hanya berhenti pada keluhan di dunia maya, melainkan bergerak nyata: menggalang donasi, menyusun petisi, memobilisasi kampanye digital, bahkan turun ke jalan menyuarakan aspirasi yang mereka yakini.

Aktivisme inklusif Gen Z memberi warna baru dalam lanskap gerakan sosial. "Inklusif" di sini berarti mereka berusaha merangkul keragaman identitas, isu, dan perspektif, sembari menolak sekat diskriminasi yang kerap diwariskan oleh generasi sebelumnya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: apakah aktivisme ini merupakan kesadaran yang berakar kuat, ataukah hanya sekadar tren sesaat yang akan meredup seiring bergesernya atensi publik?

Digital Natives dan Pola Gerakan Baru

Gen Z adalah generasi digital natives. Lahir dan tumbuh dalam ekosistem internet, mereka menjadikan ruang digital sebagai panggung utama ekspresi sekaligus arena pengorganisasian. Tagar di Twitter, unggahan di Instagram, hingga video pendek di TikTok bisa menjadi pemantik diskusi global. Dalam hitungan jam, isu lokal di satu daerah dapat bergema hingga lintas benua.

Namun, digitalisasi juga melahirkan paradoks. Di satu sisi, ia memberi akses luas bagi penyebaran ide dan memungkinkan terciptanya solidaritas global tanpa sekat geografis. Di sisi lain, aktivisme mudah tergelincir dalam jebakan slacktivism: sekadar dukungan instan lewat "klik" dan "bagikan" tanpa keterlibatan lebih mendalam. Perbedaan antara aktivisme berbasis kesadaran dan aktivisme berbasis tren menjadi krusial untuk ditelaah.

Antara Inspirasi dan Kekhawatiran

Bagi banyak orang tua, keterlibatan anak dalam gerakan sosial menghadirkan dilema. Ada rasa bangga karena anak-anak tumbuh peduli terhadap isu kemanusiaan sejak dini. Tetapi ada pula rasa khawatir: apakah mereka cukup matang menghadapi risiko sosial, politik, bahkan hukum yang bisa saja menimpa mereka?

Sejarah telah membuktikan bahwa aktivisme kerap berbiaya. Dari represi aparat, kriminalisasi, hingga tekanan sosial, risiko selalu hadir. Oleh karena itu, peran orang dewasa---baik orang tua, guru, maupun pemimpin komunitas---sangat penting. Mereka perlu mendampingi, memberi ruang aman, sekaligus membimbing agar aktivisme Gen Z tidak terjebak dalam romantisme gerakan tanpa arah dan substansi.

Belajar dari Fenomena Global

Fenomena aktivisme Gen Z bukanlah monopoli Indonesia. Greta Thunberg dengan Fridays for Future menginspirasi jutaan remaja Eropa untuk menuntut aksi nyata atas krisis iklim. Di Amerika Serikat, March for Our Lives yang digerakkan pelajar setelah tragedi penembakan massal berhasil menekan wacana reformasi senjata. Bahkan di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Afrika, Gen Z turut bersuara dalam isu Palestina, perubahan iklim, hingga keadilan ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun