Fenomena aktivisme di kalangan generasi muda, khususnya Gen Z, belakangan semakin menonjol. Dari isu lingkungan hidup, kesetaraan gender, hak disabilitas, hak-hak minoritas, hingga solidaritas kemanusiaan lintas batas negara, mereka hadir dengan keberanian yang berbeda dari generasi sebelumnya. Anak-anak muda ini tidak hanya berhenti pada keluhan di dunia maya, melainkan bergerak nyata: menggalang donasi, menyusun petisi, memobilisasi kampanye digital, bahkan turun ke jalan menyuarakan aspirasi yang mereka yakini.
Aktivisme inklusif Gen Z memberi warna baru dalam lanskap gerakan sosial. "Inklusif" di sini berarti mereka berusaha merangkul keragaman identitas, isu, dan perspektif, sembari menolak sekat diskriminasi yang kerap diwariskan oleh generasi sebelumnya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah: apakah aktivisme ini merupakan kesadaran yang berakar kuat, ataukah hanya sekadar tren sesaat yang akan meredup seiring bergesernya atensi publik?
Digital Natives dan Pola Gerakan Baru
Gen Z adalah generasi digital natives. Lahir dan tumbuh dalam ekosistem internet, mereka menjadikan ruang digital sebagai panggung utama ekspresi sekaligus arena pengorganisasian. Tagar di Twitter, unggahan di Instagram, hingga video pendek di TikTok bisa menjadi pemantik diskusi global. Dalam hitungan jam, isu lokal di satu daerah dapat bergema hingga lintas benua.
Namun, digitalisasi juga melahirkan paradoks. Di satu sisi, ia memberi akses luas bagi penyebaran ide dan memungkinkan terciptanya solidaritas global tanpa sekat geografis. Di sisi lain, aktivisme mudah tergelincir dalam jebakan slacktivism: sekadar dukungan instan lewat "klik" dan "bagikan" tanpa keterlibatan lebih mendalam. Perbedaan antara aktivisme berbasis kesadaran dan aktivisme berbasis tren menjadi krusial untuk ditelaah.
Antara Inspirasi dan Kekhawatiran
Bagi banyak orang tua, keterlibatan anak dalam gerakan sosial menghadirkan dilema. Ada rasa bangga karena anak-anak tumbuh peduli terhadap isu kemanusiaan sejak dini. Tetapi ada pula rasa khawatir: apakah mereka cukup matang menghadapi risiko sosial, politik, bahkan hukum yang bisa saja menimpa mereka?
Sejarah telah membuktikan bahwa aktivisme kerap berbiaya. Dari represi aparat, kriminalisasi, hingga tekanan sosial, risiko selalu hadir. Oleh karena itu, peran orang dewasa---baik orang tua, guru, maupun pemimpin komunitas---sangat penting. Mereka perlu mendampingi, memberi ruang aman, sekaligus membimbing agar aktivisme Gen Z tidak terjebak dalam romantisme gerakan tanpa arah dan substansi.
Belajar dari Fenomena Global
Fenomena aktivisme Gen Z bukanlah monopoli Indonesia. Greta Thunberg dengan Fridays for Future menginspirasi jutaan remaja Eropa untuk menuntut aksi nyata atas krisis iklim. Di Amerika Serikat, March for Our Lives yang digerakkan pelajar setelah tragedi penembakan massal berhasil menekan wacana reformasi senjata. Bahkan di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Afrika, Gen Z turut bersuara dalam isu Palestina, perubahan iklim, hingga keadilan ekonomi.