Di tengah derasnya arus digitalisasi, ketika gawai dan platform daring kian mendominasi kebiasaan membaca masyarakat, toko buku fisik tetap berdiri tegak dengan daya tariknya yang khas. Ada sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh layar digital: aroma kertas baru, kelembutan saat membuka halaman, hingga keheningan yang mengajak kita masuk lebih dalam ke dunia literasi. Semua itu menjadikan toko buku bukan sekadar tempat belanja, melainkan ruang publik yang menghadirkan pengalaman intelektual sekaligus emosional.
Fenomena ini terlihat jelas di berbagai kota besar di Indonesia, salah satunya di Makassar. Gramedia Pettarani menjadi contoh nyata bagaimana sebuah toko buku mampu bertransformasi menjadi destinasi favorit. Bukan hanya strategis dan mudah dijangkau, Gramedia menghadirkan suasana estetik yang nyaman, lengkap dengan sudut baca yang ramah pengunjung. Di sana, orang bisa membaca langsung di tempat, menghabiskan waktu dengan tenang, atau sekadar menikmati atmosfer yang sejuk bagi pikiran. Tidak mengherankan jika banyak anak muda menjadikan Gramedia bukan hanya sebagai tempat belanja, melainkan ruang nongkrong alternatif yang produktif, asik, dan bahkan instagramable.
Mengapa toko buku seperti Gramedia tetap relevan di tengah derasnya arus digital? Jawabannya terletak pada pengalaman personal yang diberikan buku fisik. Membaca lewat layar mungkin praktis, tetapi pengalaman menyentuh, membalik, hingga meresapi teks di halaman kertas menghadirkan kedekatan yang lebih intim. Dalam hiruk-pikuk kota dan beban pekerjaan yang menyesakkan, toko buku menjadi "oase literasi" yang memberi ketenangan sekaligus inspirasi.
Namun, pengalaman membaca yang paling personal justru saya temukan di luar toko buku---yakni di ruang kerja saya di KPPN Watampone. Di sela rutinitas pekerjaan yang padat, ruang kerja itu menjadi tempat favorit saya untuk membuka lembar demi lembar buku. Di sana, membaca bukan sekadar aktivitas mengisi waktu, tetapi bagian dari harmoni antara produktivitas dan literasi. Membaca di ruang kerja memperkuat keyakinan bahwa ilmu pengetahuan bisa hadir di mana saja, bahkan di ruang yang sehari-hari dipenuhi kesibukan administrasi negara. Itulah sebabnya, jika Gramedia adalah toko buku favorit saya, maka ruang kerja di KPPN Watampone adalah "perpustakaan pribadi" yang paling saya cintai.
Fenomena menjadikan toko buku sebagai tempat nongkrong dan ruang kerja sebagai ruang baca sesungguhnya menggambarkan dinamika literasi hari ini. Masyarakat urban mencari ruang netral---tidak formal seperti kantor, tidak pula gaduh seperti kafe. Toko buku dan ruang kerja masing-masing menawarkan alternatif itu: keduanya menjadi tempat di mana pikiran bisa beristirahat sekaligus berkembang.
Meski begitu, pertanyaan besar tetap menggantung: sampai kapan toko buku bisa mempertahankan relevansinya? Tantangan memang nyata---persaingan dengan platform daring, pergeseran minat baca generasi muda, hingga perubahan gaya hidup yang serba instan. Namun, toko buku yang mampu beradaptasi dengan menghadirkan konsep estetik, memperkuat komunitas literasi, dan membuka ruang dialog sosial akan tetap menjadi pilihan favorit.
Akhirnya, toko buku dan ruang baca pribadi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya bukan hanya wadah untuk menambah pengetahuan, tetapi juga ruang untuk merayakan kebersamaan, menemukan ketenangan, dan mengasah pikiran. Maka, memilih Gramedia sebagai toko buku favorit dan ruang kerja di KPPN Watampone sebagai tempat baca paling berharga adalah bentuk penghargaan atas dua hal penting dalam hidup: literasi dan produktivitas. Di sanalah surga membaca sejati itu ditemukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI