“Di balik pria sukses, ada perempuan hebat.” Namun apa jadinya jika sang istri justru menjadi sumber kekacauan dalam lingkungan kerja suami?
Fenomena para istri yang ikut campur dalam urusan kantor suami belakangan semakin marak dan memprihatinkan. Bukan lagi dalam bentuk sekadar perhatian atau dukungan moril, melainkan sudah menjelma sebagai intervensi langsung dalam operasional kantor, relasi antarkaryawan, hingga pengambilan keputusan strategis. Alih-alih menjadi ‘support system’, keberadaan mereka berubah menjadi ‘disruptive force’ yang mencederai profesionalisme.
Fenomena ini bukan hanya persoalan domestik yang terbawa ke ranah profesional, melainkan telah menjadi public concern yang mengganggu ritme organisasi dan integritas kepemimpinan. Ketika istri-istri mendikte jalannya manajemen, mencampuri siapa yang boleh atau tidak bekerja dengan suaminya, hingga menyetir kebijakan internal—maka kantor telah berubah menjadi panggung konflik rumah tangga yang terbuka.
Campur Tangan yang Menyusup Pelan tapi Pasti
Berbagai kejadian seperti di Kantor Pemerintahan, BUMN, hingga perusahaan keluarga, menyebut bahwa fenomena ini bukan isapan jempol. Kadang istri atasan kerap kali hadir secara informal dalam rapat-rapat penting, mendikte siapa yang promosi, hingga menilai karakter bawahan berdasarkan perasaan pribadi, bukan pada kinerja profesional.
Ada pula kisah bagaimana istri direktur utama perusahaan swasta menelpon langsung kepala divisi HRD, memaksa membatalkan promosi staf perempuan tertentu karena dianggap "terlalu dekat" dengan sang suami. Alasan-alasan personal, cemburu, dan asumsi menggantikan objektivitas dan meritokrasi. Ini bukan sekadar mencederai etika, tetapi juga melumpuhkan organisasi.
Merusak Tata Kelola dan Budaya Profesional
Secara sistemik, campur tangan istri dalam urusan kantor suami menciptakan iklim kerja yang tidak sehat. Budaya profesional dirusak oleh gosip, kecurigaan, dan intrik rumah tangga. Iklim kerja yang seharusnya dibangun atas dasar kompetensi dan kinerja berubah menjadi medan permainan ego personal.
Bagi organisasi yang tengah bertransformasi menuju tata kelola modern, kehadiran ‘pihak luar’ dalam proses internal justru kontraproduktif. Perempuan seharusnya menjadi agen pemberdayaan dan pendukung perubahan, bukan pelaku kontrol yang tak memiliki legitimasi struktural dalam organisasi.
Di banyak kasus, posisi suami yang tak mampu bersikap tegas dan membatasi wilayah rumah tangga dari urusan profesional turut memperparah keadaan. Ketidaktegasan ini justru memberikan celah bagi istri untuk tampil sebagai "direktur bayangan", bahkan lebih ditakuti daripada direksi yang sah.
Antara Dukungan dan Dominasi
Penting untuk dibedakan antara istri yang mendukung karier suami secara sehat dan yang merecoki secara aktif. Dukungan sehat adalah ketika istri memberi semangat, menjadi pendengar yang baik, dan menjaga integritas rumah tangga agar tidak menodai tanggung jawab profesional suami. Sementara dominasi destruktif adalah ketika istri mulai ikut menentukan siapa rekan kerja suaminya, mengatur relasi sosial kantor, bahkan membuat keputusan manajerial atas nama "rasa curiga".
Pakar psikologi sosial menyebut ini sebagai bentuk emotional control disguised as care. Kecemasan berlebih, rasa tidak aman, dan sikap posesif menjadi bahan bakar yang mendorong intervensi demi intervensi. Jika tidak segera disadari dan dikendalikan, relasi suami-istri semacam ini justru menciptakan lingkaran toksik yang menjalar dari rumah ke tempat kerja.
Menggugat Etika dan Menyoal Kepemimpinan
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi para pemimpin organisasi. Ketika pemimpin tak mampu membedakan peran domestik dan publik, maka ia sedang menggadaikan profesionalisme demi kenyamanan pribadi. Kantor bukanlah perpanjangan tangan dapur rumah tangga. Ada etika kerja, tata kelola, dan hak karyawan yang harus dihormati.
Pemimpin yang membiarkan pasangannya mengintervensi urusan kerja bukan hanya gagal memimpin, tapi juga gagal membangun budaya organisasi yang sehat. Ini bukan semata persoalan rumah tangga, tetapi persoalan integritas, etika, dan kompetensi kepemimpinan.
Kapan Saatnya Mengatakan Cukup?
Sudah saatnya para suami—khususnya yang berada di posisi pimpinan—berani mengatakan "cukup" terhadap intervensi istri dalam urusan kerja. Cinta bukan berarti harus menyerahkan seluruh kendali. Justru dalam cinta yang dewasa, ada batas dan kepercayaan. Demikian pula, istri pun perlu memahami bahwa ruang kerja suami bukanlah ruang untuk melampiaskan kecemasan atau mengontrol segala sesuatu. Ruang profesional harus steril dari motif-motif personal.
Masyarakat pun perlu semakin kritis dalam menilai pemimpin. Jangan terkecoh dengan kesantunan atau performa formal, jika pada kenyataannya ada “orang kedua” yang ikut menentukan arah organisasi secara informal.
Demi Martabat Profesionalisme
Kantor bukanlah panggung sandiwara rumah tangga. Ia adalah tempat kerja yang menuntut profesionalisme, etika, dan otonomi struktural. Para istri bukan musuh, tapi semestinya menjadi mitra suportif yang menjaga, bukan merecoki. Maka, demi organisasi yang sehat, demi martabat kepemimpinan, dan demi etika profesional—sudah saatnya para pemimpin belajar untuk memisahkan urusan rumah dari urusan kantor.
Karena jika kantor telah dipenuhi bisikan-bisikan dari luar struktur, maka yang tersisa hanyalah organisasi yang berjalan tanpa arah—dipimpin oleh cinta yang salah alamat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI