Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Para Istri Ikut Campur Urusan Kantor Suami: Profesionalisme Tergadai, Kantor Jadi Arena Drama Rumah Tangga

5 Agustus 2025   07:30 Diperbarui: 5 Agustus 2025   07:25 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Ketika cinta melampaui batas, kantor pun berubah jadi panggung drama rumah tangga yang merusak profesionalisme dan tata kelola kerja (Foto: freepik.com)

Antara Dukungan dan Dominasi

Penting untuk dibedakan antara istri yang mendukung karier suami secara sehat dan yang merecoki secara aktif. Dukungan sehat adalah ketika istri memberi semangat, menjadi pendengar yang baik, dan menjaga integritas rumah tangga agar tidak menodai tanggung jawab profesional suami. Sementara dominasi destruktif adalah ketika istri mulai ikut menentukan siapa rekan kerja suaminya, mengatur relasi sosial kantor, bahkan membuat keputusan manajerial atas nama "rasa curiga".

Pakar psikologi sosial menyebut ini sebagai bentuk emotional control disguised as care. Kecemasan berlebih, rasa tidak aman, dan sikap posesif menjadi bahan bakar yang mendorong intervensi demi intervensi. Jika tidak segera disadari dan dikendalikan, relasi suami-istri semacam ini justru menciptakan lingkaran toksik yang menjalar dari rumah ke tempat kerja.

Menggugat Etika dan Menyoal Kepemimpinan

Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi para pemimpin organisasi. Ketika pemimpin tak mampu membedakan peran domestik dan publik, maka ia sedang menggadaikan profesionalisme demi kenyamanan pribadi. Kantor bukanlah perpanjangan tangan dapur rumah tangga. Ada etika kerja, tata kelola, dan hak karyawan yang harus dihormati.

Pemimpin yang membiarkan pasangannya mengintervensi urusan kerja bukan hanya gagal memimpin, tapi juga gagal membangun budaya organisasi yang sehat. Ini bukan semata persoalan rumah tangga, tetapi persoalan integritas, etika, dan kompetensi kepemimpinan.

Kapan Saatnya Mengatakan Cukup?

Sudah saatnya para suami—khususnya yang berada di posisi pimpinan—berani mengatakan "cukup" terhadap intervensi istri dalam urusan kerja. Cinta bukan berarti harus menyerahkan seluruh kendali. Justru dalam cinta yang dewasa, ada batas dan kepercayaan. Demikian pula, istri pun perlu memahami bahwa ruang kerja suami bukanlah ruang untuk melampiaskan kecemasan atau mengontrol segala sesuatu. Ruang profesional harus steril dari motif-motif personal.

Masyarakat pun perlu semakin kritis dalam menilai pemimpin. Jangan terkecoh dengan kesantunan atau performa formal, jika pada kenyataannya ada “orang kedua” yang ikut menentukan arah organisasi secara informal.

Demi Martabat Profesionalisme

Kantor bukanlah panggung sandiwara rumah tangga. Ia adalah tempat kerja yang menuntut profesionalisme, etika, dan otonomi struktural. Para istri bukan musuh, tapi semestinya menjadi mitra suportif yang menjaga, bukan merecoki. Maka, demi organisasi yang sehat, demi martabat kepemimpinan, dan demi etika profesional—sudah saatnya para pemimpin belajar untuk memisahkan urusan rumah dari urusan kantor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun