Saya masih ingat betul percakapan singkat saya dengan seorang teman semasa kuliah dulu sekitar 20 tahun lalu, beberapa hari setelah ia resmi menjadi suami. Dengan wajah berbinar, ia berkata, “ Mas Benny ternyata menikah itu seperti main gim level sulit: bukan soal cinta lagi, tapi soal tagihan listrik dan isi kulkas.” Kalimat sederhana itu, tak sengaja, menggambarkan realitas yang jarang dibicarakan dalam seminar pranikah: bahwa cinta saja tidak cukup, sebab rumah tangga juga membutuhkan manajemen keuangan yang cerdas.
Pernikahan memang peristiwa emosional. Ia dirayakan dengan pesta, ucapan selamat, dan bulan madu. Tapi tak lama setelah pesta usai, hidup kembali ke rutinitas: kebutuhan dapur, biaya transportasi, bayar sewa rumah kontrakan, hingga wacana punya anak. Di sinilah banyak pasangan muda yang tergelincir, bukan karena kurang cinta, melainkan karena gagal membangun sistem keuangan bersama sejak awal.
Saya sendiri telah menjalani tahun-tahun awal pernikahan dengan banyak kompromi, termasuk soal uang. Bukan berarti kami tidak pernah berselisih. Tapi sejak kami menyepakati bahwa keuangan bukan milik pribadi, melainkan tanggung jawab bersama, banyak hal berubah. Kami berdua sudah mulai bicara soal pengeluaran rutin, dana darurat, bahkan mimpi memiliki rumah sendiri. Kami berdua membangun kepercayaan tidak hanya dari kata cinta, tapi dari transparansi catatan keuangan.
Menyatukan Cinta dan Catatan Keuangan
Banyak orang takut membicarakan uang dalam rumah tangga, padahal justru di situlah akar dari banyak masalah bisa dicegah. Ketika dua orang yang baru menikah sepakat membuka seluruh kondisi keuangan masing-masing—gaji, utang, tabungan, gaya hidup—itu bukan berarti kehilangan privasi, melainkan membangun pondasi keterbukaan.
Saya dan istri, misalnya, sejak awal menyusun anggaran rumah tangga berdasarkan prinsip 50-30-20. Setiap bulan, kami alokasikan 50% untuk kebutuhan rutin, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan atau investasi. Di atas kertas ini mungkin terlihat sederhana, tapi dalam praktiknya dibutuhkan kedisiplinan dan saling mengingatkan.
Yang sering terlupa adalah bahwa uang bukan soal jumlah, tetapi soal kebiasaan. Bahkan dengan gaji terbatas, rumah tangga bisa tetap stabil jika ada rencana dan prioritas. Sebaliknya, gaji besar sekalipun bisa lenyap dalam sekejap jika tidak diatur.
Rekening Gabung atau Pisah? Bukan Soal Romantis, Tapi Strategi
Pertanyaan ini juga kami hadapi di awal menikah. Haruskah semua uang kami gabung? Atau tetap pegang masing-masing?
Akhirnya kami berdua putuskan untuk memiliki satu rekening bersama untuk kebutuhan rumah tangga, dan masing-masing tetap punya rekening pribadi. Ini bukan soal curiga, tapi soal saling memberi ruang. Dari rekening bersama itulah kami bayar listrik, belanja dapur, membayar kebutuhan anak sekolah hingga membayar cicilan KPR.