Strategi Bertahan dan Beradaptasi
Para pemilik mal dan pelaku bisnis harus sigap merespons tren ini. Beberapa sudah mulai menyiasati dengan menghadirkan lebih banyak area publik gratis, spot swafoto, hingga acara komunitas. Bahkan, di beberapa mal, tenant yang mendatangkan trafik (seperti tempat bermain anak, pameran seni, dan tempat ibadah) mulai diberi insentif khusus.
Namun, ini bukan solusi jangka panjang. Diperlukan penyesuaian mendalam dalam strategi pemasaran dan tata ruang mal. Misalnya, menjadikan pengalaman belanja lebih personal dan interaktif, integrasi dengan platform digital, hingga pemanfaatan teknologi untuk analisis perilaku konsumen secara real-time.
Lebih penting lagi, membangun ekosistem mal yang tak sekadar jadi tempat datang, tapi juga tempat kembali---artinya, mendorong retensi dan loyalitas pengunjung melalui pengalaman, bukan hanya produk.
Mengembalikan Fungsi Mal sebagai Penggerak Ekonomi
Di tengah transformasi digital dan ekonomi berbasis pengalaman, tantangan bagi dunia ritel adalah menemukan titik temu antara kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi. Mal tetap punya potensi besar sebagai penggerak ekonomi lokal, penyerap tenaga kerja, dan penopang UMKM.
Namun, jika tren Rohana dan Rojali terus dibiarkan tanpa inovasi, maka mal hanya akan menjadi museum gaya hidup---penuh manusia, minim transaksi.
Pemerintah dan pelaku usaha dapat mengambil peran strategis, dari insentif pajak untuk tenant produktif, pelatihan pelaku usaha mikro di mal, hingga integrasi event ekonomi kreatif agar mal kembali berdenyut sebagai pusat ekonomi, bukan sekadar panggung swafoto.
Paradoks yang Perlu Dipecahkan
Rohana dan Rojali bukan sekadar istilah lucu-lucuan. Ia adalah simbol dari paradoks urban: hadir tanpa membeli, ramai tanpa transaksi. Sebuah tantangan sekaligus peluang untuk mengevaluasi kembali fungsi ruang publik dalam budaya konsumsi masyarakat kita.
Jika dikelola dengan bijak, mal tetap bisa menjadi ruang hidup yang produktif. Bukan hanya untuk bertemu, tapi juga untuk tumbuh bersama.