Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Paradoks Rohana dan Rojali: Mengapa Mal Ramai tapi Penjualan Sepi?

26 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 25 Juli 2025   10:21 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana pusat perbelanjaan. Mengenal fenomena rojali dan rohana kembali menjadi perbincangan hangat, baik di media sosial maupun kalangan pelaku usaha. (Pexels/Deane Bayas via kompas.com)

Strategi Bertahan dan Beradaptasi

Para pemilik mal dan pelaku bisnis harus sigap merespons tren ini. Beberapa sudah mulai menyiasati dengan menghadirkan lebih banyak area publik gratis, spot swafoto, hingga acara komunitas. Bahkan, di beberapa mal, tenant yang mendatangkan trafik (seperti tempat bermain anak, pameran seni, dan tempat ibadah) mulai diberi insentif khusus.

Namun, ini bukan solusi jangka panjang. Diperlukan penyesuaian mendalam dalam strategi pemasaran dan tata ruang mal. Misalnya, menjadikan pengalaman belanja lebih personal dan interaktif, integrasi dengan platform digital, hingga pemanfaatan teknologi untuk analisis perilaku konsumen secara real-time.

Lebih penting lagi, membangun ekosistem mal yang tak sekadar jadi tempat datang, tapi juga tempat kembali---artinya, mendorong retensi dan loyalitas pengunjung melalui pengalaman, bukan hanya produk.

Mengembalikan Fungsi Mal sebagai Penggerak Ekonomi

Di tengah transformasi digital dan ekonomi berbasis pengalaman, tantangan bagi dunia ritel adalah menemukan titik temu antara kebutuhan sosial dan kebutuhan ekonomi. Mal tetap punya potensi besar sebagai penggerak ekonomi lokal, penyerap tenaga kerja, dan penopang UMKM.

Namun, jika tren Rohana dan Rojali terus dibiarkan tanpa inovasi, maka mal hanya akan menjadi museum gaya hidup---penuh manusia, minim transaksi.

Pemerintah dan pelaku usaha dapat mengambil peran strategis, dari insentif pajak untuk tenant produktif, pelatihan pelaku usaha mikro di mal, hingga integrasi event ekonomi kreatif agar mal kembali berdenyut sebagai pusat ekonomi, bukan sekadar panggung swafoto.

Paradoks yang Perlu Dipecahkan

Rohana dan Rojali bukan sekadar istilah lucu-lucuan. Ia adalah simbol dari paradoks urban: hadir tanpa membeli, ramai tanpa transaksi. Sebuah tantangan sekaligus peluang untuk mengevaluasi kembali fungsi ruang publik dalam budaya konsumsi masyarakat kita.

Jika dikelola dengan bijak, mal tetap bisa menjadi ruang hidup yang produktif. Bukan hanya untuk bertemu, tapi juga untuk tumbuh bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun