Peluang Pelestarian: Bukan Sekadar Atraksi Wisata
Dalam konteks kekinian, pelestarian tradisi ini bisa dilakukan dengan pendekatan yang kontekstual dan adaptif. Pemerintah daerah, lembaga adat, hingga pelaku pariwisata bisa bersinergi menjadikan mappalette bola sebagai warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) yang tak hanya dijaga, tetapi juga dikenalkan kepada generasi muda.
Beberapa komunitas di Bone, Soppeng, dan Wajo bahkan mulai melibatkan pelajar dan mahasiswa dalam tradisi ini, tidak lagi sekadar fisik mengangkat rumah, tetapi mengangkat nilai dan sejarahnya agar tidak tenggelam. Dokumentasi digital, festival budaya, hingga integrasi ke dalam kurikulum lokal menjadi langkah-langkah strategis yang layak dipertimbangkan.
Pemerintah pun bisa mengambil peran lebih besar dalam mencatat dan menetapkan mappalette bola sebagai warisan budaya nasional yang dilindungi, sekaligus memperkuat narasi tentang keunggulan sosial masyarakat lokal di tengah gempuran budaya global.
Menjaga yang Tak Tergantikan
Di saat banyak masyarakat adat kehilangan jati diri karena derasnya pengaruh luar, masyarakat Bugis masih memiliki satu kekuatan utama: daya tahan kebudayaan. Tradisi mappalette bola bukan hanya milik Bugis, tapi warisan Indonesia yang menunjukkan bahwa kita punya cara sendiri dalam membangun dan menjaga rumah---bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin dan kebersamaan.
Dalam dunia yang kian terfragmentasi, rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah metafora tentang hidup yang saling menopang. Dan masyarakat Bugis, dengan tradisi angkat rumahnya, sedang menunjukkan pada kita bahwa rumah terbaik adalah yang dibangun dan dipindahkan bersama-sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI