Sebuah putusan telah diketuk, namun keadilan justru terenggut. Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas keterlibatannya dalam kasus impor gula, kini akan terbebas dari jerat hukum pidana melalui abolisi—hingga Jum'at subuh artikel ini ditulis belum ada Keppres dibuat—yang diberikan Presiden Prabowo Subianto. Media-media mainstream telah melaporkan bahwa alasan resmi pemberian abolisi adalah "untuk memupuk persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus", sebuah justifikasi yang terasa abstrak di tengah kerugian negara yang nyata sebesar Rp578,1 miliar berdasarkan audit BPKP.
Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum pidana yang berakhir dengan pengampunan politik. Lebih dari itu, dari sini kita mengungkap tiga dimensi krusial yang saling berkaitan: kelemahan mekanisme pengawasan yudisial terhadap hak prerogatif presiden, penyimpangan dari manifestasi kebangsaan sosio-demokrasi dalam tata kelola pangan strategis Nasional, dan urgensi reformasi sistemik untuk mencegah korupsi impor komoditas strategis.
Artikel ini mengembangkan analisis kritis terhadap kasus abolisi Tom Lembong, yang divonis bersalah atas korupsi impor gula dengan kerugian negara Rp578,1 miliar, dengan merumuskan tiga isu utama: pertama, bagaimana ketidaksesuaian antara putusan pengadilan, temuan audit BPKP, dan keputusan politik abolisi dapat dijustifikasi dalam kerangka hukum administrasi dan tata kelola? Kedua, apakah Keputusan Presiden (Keppres) abolisi memenuhi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan dapat diuji melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memastikan akuntabilitas hak prerogatif Presiden? Ketiga, bagaimana abolisi ini melemahkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan kepercayaan publik, serta bertentangan dengan manifestasi sosio-demokrasi yang menekankan peran negara dalam melindungi kepentingan rakyat melalui kebijakan pangan strategis?Â
Untuk mencegah kasus serupa, artikel ini mengusulkan penguatan uji PTUN sebagai instrumen pengawasan administratif, penegakan prinsip sosial demokrasi dalam regulasi impor pangan, dan reformasi sistemik melalui pengawasan antarkementerian serta partisipasi publik guna memastikan keadilan dan mencegah korupsi di masa depan.
Ketidaksinkronan Fundamental: Antara Vonis Pengadilan dan Temuan Audit
Secara fundamental, abolisi tidak menghapus kesalahan atau perbuatan yang telah terjadi. Ini adalah sebuah tindakan hukum di mana Presiden memutuskan untuk menghentikan proses penuntutan hukum terhadap seseorang (Res Judicata). Keputusan ini beroperasi pada ranah prosedural, bukan menghapus fakta perbuatan. Negara, pada dasarnya, memilih untuk tidak menggunakan haknya menuntut, namun perbuatan yang dituduhkan—bahkan yang telah divonis di pengadilan tingkat pertama—tetap tercatat sebagai fakta yuridis.
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Tom Lembong menegaskan dua unsur krusial: terbuktinya penyalahgunaan wewenang dan adanya kerugian keuangan negara. Namun, vonis tersebut seolah menyiratkan bahwa kerugian negara belum "final" atau masih dalam tahap perhitungan, sebuah narasi yang berbenturan langsung dengan temuan audit BPKP yang telah mengidentifikasi kerugian riil dan terukur sebesar Rp578,1 miliar. Kerugian ini terdiri dari dua komponen: kemahalan harga impor gula sebesar Rp194,7 miliar dan kekurangan pembayaran bea masuk serta pajak impor senilai Rp383,3 miliar.
Ketidaksinkronan ini mengungkap kelemahan sistemik dalam integrasi audit keuangan negara dengan proses peradilan. BPKP, sebagai lembaga pengawas intern pemerintah, telah menjalankan fungsinya dengan menghasilkan temuan audit yang konkret dan terukur. Namun, putusan pengadilan seakan tidak sepenuhnya mengakomodasi temuan tersebut, menciptakan ruang abu-abu yang kemudian dimanfaatkan untuk justifikasi abolisi. Kondisi ini menunjukkan perlunya integrasi yang lebih kuat antara hasil audit BPKP dengan proses penegakan hukum, serta pentingnya menjadikan temuan audit sebagai dasar wajib dalam pengambilan keputusan terkait impor pangan strategis.
"...abolisi tidak menghapus kesalahan atau perbuatan yang telah terjadi. Ini adalah sebuah tindakan hukum di mana Presiden memutuskan untuk menghentikan proses penuntutan hukum"
Penyimpangan Ideologis: Dari Sosio-Demokrasi Menuju Liberalisasi Pasar
Kebijakan impor gula yang diatur melalui BUMN pada dasarnya mencerminkan ideologi sosial demokrasi, di mana negara berperan aktif sebagai regulator pasar untuk melindungi kepentingan rakyat dan menjaga kedaulatan pangan. Pada artikel sebelumnya, "Kapitalisme Predatorik: Menyoal Kedaulatan Pangan dalam Putusan Tom Lembong", penulis telah menegaskan bahwa keputusan Tom Lembong mengalihkan mandat impor dari BUMN ke sektor swasta merupakan "cerminan dari kapitalisme predatorik" yang bertentangan dengan emansipasi ideologis yang berkeadilan sosial bagi rakyat kecil.
Landasan ideologis kebijakan impor gula melalui BUMN bukan tanpa alasan. Pasal 36 UU No. 18/2012 tentang Pangan secara tegas melarang impor pangan jika produksi dalam negeri memadai, sebuah prinsip yang dilanggar dalam kasus ini. Lebih jauh, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mewajibkan adanya jaminan harga minimum dan akses pasar yang adil bagi petani. Dengan menunjuk BUMN sebagai pelaksana impor, negara bertindak sebagai aktor utama yang memastikan kebijakan pangan tidak semata-mata diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, melainkan diarahkan untuk melindungi kepentingan petani tebu lokal dan menjaga stabilitas pasokan gula nasional.