Setiap tahun, di hari kemerdekaan, kita merayakan kebebasan. Namun, sadarkah kita, ada 'penjajahan' yang diam-diam masih menggerogoti masa depan bangsa: penjajahan oleh ketidakmerataan dan kualitas pendidikan yang stagnan. Ironisnya, hal ini terjadi di tengah gelontoran dana yang fantastis.
Tahun ini, pemerintah kembali menunjukkan komitmen luar biasa dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp724,3 triliun dalam APBN 2025. Angka ini bukan sekadar deretan digit; ia adalah harapan, janji, dan modal besar untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Namun, pertanyaan kritisnya adalah: apakah uang sebanyak itu sudah cukup untuk membebaskan kita dari belenggu ketidaksetaraan dan mutu yang stagnan?
Namun, di balik angka yang mengagumkan itu, ada fakta pahit yang mungkin belum banyak kita tahu. Laporan PISA 2022 menunjukkan skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia masih jalan di tempat. Kita berada di peringkat 69 dari 80 negara untuk kemampuan matematika dan membaca. Peringkat ini bahkan lebih buruk dari negara tetangga seperti Malaysia, apalagi Singapura.
Lalu, apa artinya angka triliunan itu jika anak-anak kita masih kalah bersaing di tingkat global? Apa gunanya gedung sekolah mewah jika guru di dalamnya kurang kompeten? Apa manfaatnya beasiswa jika lulusan perguruan tinggi masih sulit mencari kerja?
Membedah Angka, Mencari Makna
Alokasi anggaran pendidikan yang konsisten sebesar 20 persen dari APBN sejak 2009 adalah prestasi yang patut diapresiasi. Dana ini dialirkan ke berbagai program strategis, mulai dari Program Indonesia Pintar (PIP), KIP Kuliah, hingga Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Di atas kertas, ini adalah strategi yang sempurna untuk menjangkau jutaan siswa dan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Namun, mari kita cermati data yang juga tercantum dalam Nota Keuangan APBN 2025. Di tengah gelontoran dana yang masif, Indikator Human Capital Index (HCI) Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata negara ASEAN dan Skor PISA (Programme for International Student Assessment) kita juga belum menunjukkan peningkatan signifikan. Ini adalah anomali yang harus kita hadapi: jika anggaran terus naik, mengapa indikator kualitas tidak ikut naik secara signifikan? Mengapa kita masih jauh dari visi Indonesia Maju 2045 dari segi kualitas pendidikan?
- Belanja Pemerintah Pusat (Rp297,2 T): Dana ini untuk program vital seperti PIP dan KIP Kuliah. Tujuannya mulia: memastikan tidak ada anak yang putus sekolah karena biaya. Tapi, kita sering mendengar cerita penyaluran yang tidak tepat sasaran atau birokrasi yang berbelit, membuat bantuan terlambat atau tidak sampai ke tangan yang membutuhkan.
- Transfer ke Daerah (Rp347,1 T): Anggaran terbesar ini disalurkan untuk BOS dan pembangunan infrastruktur di daerah, termasuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Ini adalah jantung dari upaya pemerataan. Namun, realitanya, banyak sekolah di pelosok masih jauh dari kata layak. Dana yang seharusnya untuk perbaikan sarpras sering kali tergerus untuk biaya operasional yang tidak efektif. Apakah benar uang ini sampai ke tangan para siswa di desa terpencil, atau hanya berhenti di "kantor"?
- Pembiayaan (Rp80 T): Pemanfaatan dana abadi melalui LPDP untuk beasiswa dan riset adalah investasi jangka panjang. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: seberapa banyak riset yang didanai benar-benar menghasilkan inovasi yang solutif bagi masalah pendidikan di Indonesia? Seberapa banyak penerima beasiswa yang kembali dan berkontribusi secara signifikan untuk memajukan bangsa, bukan sekadar mengejar karir di luar negeri?
Investasi Sejati Bukan Hanya di Angka
Mengukur keberhasilan pendidikan hanya dari besaran anggaran adalah sebuah ilusi. Pendidikan adalah investasi pada manusia, dan investasi itu tidak bisa diukur dengan besarnya rupiah, melainkan dari kualitas SDM yang dihasilkannya.
Ini bukan sekadar tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab kita semua. Para guru harus terus berinovasi dan meningkatkan kompetensinya. Para siswa harus lebih kritis.
Para orang tua harus lebih peduli. Dan yang terpenting, kita sebagai masyarakat harus berani menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam setiap penggunaan dana pendidikan. Di hari kemerdekaan ini, mari kita ubah fokus. Bukan lagi bangga dengan angka triliunan, melainkan bangga dengan kualitas lulusan kita. Mari kita pastikan bahwa setiap rupiah yang digelontorkan menjadi fondasi kokoh bagi kemerdekaan belajar sejati, yang membebaskan anak-anak kita dari kebodohan dan membuka pintu menuju masa depan yang cerah.
Angka besar tanpa pengawasan, hanya akan menjadi janji tanpa hasil. Mari kita pastikan janji itu terpenuhi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI