Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Pendidik, Penulis, dan Penggerak Literasi

Guru, penulis dan penggerak literasi yang percaya menulis adalah jejak sejarah diri sekaligus warisan nilai bagi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Jadi Konten, Murid Jadi Penonton: Etika yang Mulai Kabur

9 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 10 Oktober 2025   04:34 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai: dari menghormati guru menjadi mengabadikan guru. Dari ruang belajar menjadi ruang tontonan.

Budaya Viral dan Krisis Hormat

Mengapa murid merasa bebas merekam guru tanpa izin?

Menurut sejumlah psikolog pendidikan, generasi remaja kini tumbuh dalam budaya performative digital di mana identitas dan penerimaan diri sering diukur lewat jumlah likes dan views.

Bagi mereka, setiap momen terasa layak dibagikan. Bukan karena niat buruk, tetapi karena kepekaan terhadap batas antara dokumentasi dan eksploitasi semakin menipis.

Dalam ekosistem semacam ini, ruang kelas pun menjadi "panggung konten." Merekam guru yang marah, salah bicara, atau bereaksi emosional dianggap bahan hiburan.
Tekanan sosial media membuat banyak siswa ingin cepat viral meski harus mengorbankan rasa hormat. 

Sayangnya, yang dikorbankan tak hanya etika.

Beberapa guru yang viral secara negatif mengaku mengalami stres dan kehilangan wibawa. Ada yang akhirnya mengundurkan diri karena merasa tidak sanggup lagi mengajar di depan kelas setelah direkam dan ditertawakan.

Wibawa guru bukan hanya hilang di ruang digital, tapi juga ikut terkikis di ruang nyata. Sementara di sisi lain, sekolah masih sibuk mengejar capaian akademik dan digital skills, tanpa menyeimbangkannya dengan digital ethics.

Sekolah Digital, Tapi Tidak Etis

Sekolah memang tak bisa menutup mata terhadap media sosial. Dunia anak hari ini hidup di layar. Namun, yang perlu diubah bukanlah alatnya, melainkan cara memaknainya.

Melalui Gerakan Literasi Digital, pemerintah berupaya menanamkan kesadaran etika bermedia di kalangan pelajar. Di sejumlah sekolah, pelatihan tentang cyberbullying dan etika berbagi konten sudah mulai digelar. Sayangnya, semangat literasi digital ini masih lebih sering hadir dalam bentuk acara kampanye, belum menjadi kebiasaan belajar yang berkelanjutan.

Di sekolah tempat saya mengajar, kami mencoba menerapkan sistem sederhana tapi efektif. Selama pembelajaran berlangsung, seluruh ponsel siswa disimpan di loker khusus penyimpanan. Kunci loker dipegang oleh wali kelas dan hanya boleh diambil oleh ketua kelas bila ada pelajaran yang memang membutuhkan ponsel untuk kegiatan belajar.
Setelah digunakan, seluruh ponsel dikembalikan ke loker, dan kunci diserahkan kembali kepada wali kelas. Aturan ini bukan untuk membatasi, tapi untuk mendidik anak-anak mengelola kebebasan digital dengan tanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun