Selain itu, setiap kali ada jam pembinaan kepala sekolah, seluruh siswa dan guru berkumpul di aula. Dalam suasana hangat namun tegas, kepala sekolah selalu mengingatkan tentang tanggung jawab di balik layar ponsel.
"Kita tidak melarang anak merekam, tapi memberi panduan," ujarnya di depan seluruh warga sekolah.
"Merekam boleh, asalkan dengan izin dan tujuan yang jelas. Karena di balik kamera, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga."
Pesan itu diulang setiap kali pembinaan berlangsung, agar tertanam sebagai budaya, bukan sekadar aturan. Perlahan, anak-anak mulai memahami: etika digital bukan tentang larangan, tapi tentang kesadaran.
Mengembalikan Dialog dan Empati
Melarang ponsel di sekolah mungkin terlihat mudah, tapi bukan solusi jangka panjang. Justru, sekolah perlu menjadi tempat anak belajar bagaimana hidup di dunia digital dengan empati dan tanggung jawab.
Guru bisa melibatkan siswa dalam proyek video pembelajaran yang etis misalnya membuat vlog reflektif tentang kerja sama, toleransi, atau kisah inspiratif di sekolah.
Dengan begitu, siswa tetap bisa berkreasi tanpa menjatuhkan orang lain.
Orangtua juga berperan penting. Banyak remaja yang merekam tanpa izin bukan karena niat buruk, tapi karena tidak pernah diajarkan cara menghargai privasi. Maka, percakapan tentang etika digital seharusnya dimulai di rumah: tentang izin, empati, dan akibat dari unggahan impulsif.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Pemegang kendali tetap manusia dengan hati, empati, dan nurani. Bila sekolah, guru, dan orang tua mampu berjalan seirama, dunia digital tak lagi menjadi arena perundungan, melainkan ruang belajar yang sehat dan penuh nilai kemanusiaan.
Kembali ke Hakikat Belajar
Ruang kelas seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kepercayaan, bukan ketakutan akan kamera. Guru bukan aktor yang harus tampil sempurna di setiap adegan. Mereka manusia bisa salah, bisa lelah, bisa kecewa.
Jika setiap ekspresi guru direkam untuk bahan tawa, apa yang tersisa dari martabat pendidikan kita? Kita perlu mengembalikan makna belajar sebagai proses saling memahami, bukan saling menonton.
Pendidikan sejatinya bukan hanya transfer ilmu, tapi pembentukan karakter melalui teladan dan empati. Teknologi boleh melesat, tapi etika harus menjadi jangkar moral yang menahan kita agar tak hanyut dalam euforia digital.
Sebab di ujung layar, ada hati manusia yang bisa terluka. Guru bukan sekadar pengajar mereka penjaga martabat pengetahuan. Dan ketika ruang kelas berubah menjadi panggung tontonan, yang hilang bukan hanya etika melainkan jiwa belajar itu sendiri.