Ruang Kelas yang Tak Lagi Sunyi
(Ilustrasi)
Pagi itu, sebut saja Bu Rina, hanya ingin menegur muridnya yang ribut.
Suaranya lembut, nyaris bergetar menahan sabar. Namun di sudut ruangan, sepasang tangan kecil sudah mengangkat ponsel, merekam wajahnya tanpa izin.
Sehari kemudian, videonya beredar di TikTok dengan caption: "Guru baper banget."
Komentar pun membanjir. Ada yang menertawakan, ada yang menyindir, bahkan membuat parodi dari cuplikan itu.
Sementara Bu Rina tokoh fiktif yang mewakili banyak guru di dunia nyata hanya bisa diam.
Ia bukan takut viral, tapi merasa harga dirinya luruh bersama tawa yang memenuhi kolom komentar.
"Saya tidak marah direkam," katanya pelan. "Tapi rasanya seperti dijadikan bahan hiburan."
Ruang kelas kini tak lagi sekadar tempat belajar.
Di zaman ketika teknologi menyentuh hampir di sisi kehidupan, setiap momen bisa direkam, diunggah, dan ditonton dunia.
Tanpa sadar, batas antara belajar dan bersosial media kian memudar.
Ketika Etika Tertinggal dari Teknologi
Dalam dua tahun terakhir, konten bertema "guru dan murid" membanjiri linimasa. Di TikTok, tagar #GuruLucu dan #SekolahLife telah ditonton lebih dari 1,5 miliar kali (data Kominfo dan Katadata Insight Center, 2024).
Sebagian memang positif menunjukkan keakraban guru dan siswa. Namun tak sedikit pula yang mempermalukan guru, sering tanpa izin atau konteks yang utuh.
Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2022 menunjukkan hanya 53% masyarakat yang memiliki kebiasaan baik dalam menjaga privasi digital. Artinya, hampir separuh pengguna internet di Indonesia masih abai terhadap aspek etika, izin, dan tanggung jawab dalam bermedia.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) juga telah menegaskan pentingnya pendidikan etika digital di sekolah. Namun di lapangan, kesadaran itu belum menjadi budaya. Banyak murid menganggap merekam guru adalah hal lumrah bahkan membanggakan.
Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai: dari menghormati guru menjadi mengabadikan guru. Dari ruang belajar menjadi ruang tontonan.
Budaya Viral dan Krisis Hormat
Mengapa murid merasa bebas merekam guru tanpa izin?
Menurut sejumlah psikolog pendidikan, generasi remaja kini tumbuh dalam budaya performative digital di mana identitas dan penerimaan diri sering diukur lewat jumlah likes dan views.
Bagi mereka, setiap momen terasa layak dibagikan. Bukan karena niat buruk, tetapi karena kepekaan terhadap batas antara dokumentasi dan eksploitasi semakin menipis.
Dalam ekosistem semacam ini, ruang kelas pun menjadi "panggung konten." Merekam guru yang marah, salah bicara, atau bereaksi emosional dianggap bahan hiburan.
Tekanan sosial media membuat banyak siswa ingin cepat viral meski harus mengorbankan rasa hormat.Â
Sayangnya, yang dikorbankan tak hanya etika.
Beberapa guru yang viral secara negatif mengaku mengalami stres dan kehilangan wibawa. Ada yang akhirnya mengundurkan diri karena merasa tidak sanggup lagi mengajar di depan kelas setelah direkam dan ditertawakan.
Wibawa guru bukan hanya hilang di ruang digital, tapi juga ikut terkikis di ruang nyata. Sementara di sisi lain, sekolah masih sibuk mengejar capaian akademik dan digital skills, tanpa menyeimbangkannya dengan digital ethics.
Sekolah Digital, Tapi Tidak Etis
Sekolah memang tak bisa menutup mata terhadap media sosial. Dunia anak hari ini hidup di layar. Namun, yang perlu diubah bukanlah alatnya, melainkan cara memaknainya.
Melalui Gerakan Literasi Digital, pemerintah berupaya menanamkan kesadaran etika bermedia di kalangan pelajar. Di sejumlah sekolah, pelatihan tentang cyberbullying dan etika berbagi konten sudah mulai digelar. Sayangnya, semangat literasi digital ini masih lebih sering hadir dalam bentuk acara kampanye, belum menjadi kebiasaan belajar yang berkelanjutan.
Di sekolah tempat saya mengajar, kami mencoba menerapkan sistem sederhana tapi efektif. Selama pembelajaran berlangsung, seluruh ponsel siswa disimpan di loker khusus penyimpanan. Kunci loker dipegang oleh wali kelas dan hanya boleh diambil oleh ketua kelas bila ada pelajaran yang memang membutuhkan ponsel untuk kegiatan belajar.
Setelah digunakan, seluruh ponsel dikembalikan ke loker, dan kunci diserahkan kembali kepada wali kelas. Aturan ini bukan untuk membatasi, tapi untuk mendidik anak-anak mengelola kebebasan digital dengan tanggung jawab.
Selain itu, setiap kali ada jam pembinaan kepala sekolah, seluruh siswa dan guru berkumpul di aula. Dalam suasana hangat namun tegas, kepala sekolah selalu mengingatkan tentang tanggung jawab di balik layar ponsel.
"Kita tidak melarang anak merekam, tapi memberi panduan," ujarnya di depan seluruh warga sekolah.
"Merekam boleh, asalkan dengan izin dan tujuan yang jelas. Karena di balik kamera, ada tanggung jawab moral yang harus dijaga."
Pesan itu diulang setiap kali pembinaan berlangsung, agar tertanam sebagai budaya, bukan sekadar aturan. Perlahan, anak-anak mulai memahami: etika digital bukan tentang larangan, tapi tentang kesadaran.
Mengembalikan Dialog dan Empati
Melarang ponsel di sekolah mungkin terlihat mudah, tapi bukan solusi jangka panjang. Justru, sekolah perlu menjadi tempat anak belajar bagaimana hidup di dunia digital dengan empati dan tanggung jawab.
Guru bisa melibatkan siswa dalam proyek video pembelajaran yang etis misalnya membuat vlog reflektif tentang kerja sama, toleransi, atau kisah inspiratif di sekolah.
Dengan begitu, siswa tetap bisa berkreasi tanpa menjatuhkan orang lain.
Orangtua juga berperan penting. Banyak remaja yang merekam tanpa izin bukan karena niat buruk, tapi karena tidak pernah diajarkan cara menghargai privasi. Maka, percakapan tentang etika digital seharusnya dimulai di rumah: tentang izin, empati, dan akibat dari unggahan impulsif.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Pemegang kendali tetap manusia dengan hati, empati, dan nurani. Bila sekolah, guru, dan orang tua mampu berjalan seirama, dunia digital tak lagi menjadi arena perundungan, melainkan ruang belajar yang sehat dan penuh nilai kemanusiaan.
Kembali ke Hakikat Belajar
Ruang kelas seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kepercayaan, bukan ketakutan akan kamera. Guru bukan aktor yang harus tampil sempurna di setiap adegan. Mereka manusia bisa salah, bisa lelah, bisa kecewa.
Jika setiap ekspresi guru direkam untuk bahan tawa, apa yang tersisa dari martabat pendidikan kita? Kita perlu mengembalikan makna belajar sebagai proses saling memahami, bukan saling menonton.
Pendidikan sejatinya bukan hanya transfer ilmu, tapi pembentukan karakter melalui teladan dan empati. Teknologi boleh melesat, tapi etika harus menjadi jangkar moral yang menahan kita agar tak hanyut dalam euforia digital.
Sebab di ujung layar, ada hati manusia yang bisa terluka. Guru bukan sekadar pengajar mereka penjaga martabat pengetahuan. Dan ketika ruang kelas berubah menjadi panggung tontonan, yang hilang bukan hanya etika melainkan jiwa belajar itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI