Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai: dari menghormati guru menjadi mengabadikan guru. Dari ruang belajar menjadi ruang tontonan.
Budaya Viral dan Krisis Hormat
Mengapa murid merasa bebas merekam guru tanpa izin?
Menurut sejumlah psikolog pendidikan, generasi remaja kini tumbuh dalam budaya performative digital di mana identitas dan penerimaan diri sering diukur lewat jumlah likes dan views.
Bagi mereka, setiap momen terasa layak dibagikan. Bukan karena niat buruk, tetapi karena kepekaan terhadap batas antara dokumentasi dan eksploitasi semakin menipis.
Dalam ekosistem semacam ini, ruang kelas pun menjadi "panggung konten." Merekam guru yang marah, salah bicara, atau bereaksi emosional dianggap bahan hiburan.
Tekanan sosial media membuat banyak siswa ingin cepat viral meski harus mengorbankan rasa hormat.Â
Sayangnya, yang dikorbankan tak hanya etika.
Beberapa guru yang viral secara negatif mengaku mengalami stres dan kehilangan wibawa. Ada yang akhirnya mengundurkan diri karena merasa tidak sanggup lagi mengajar di depan kelas setelah direkam dan ditertawakan.
Wibawa guru bukan hanya hilang di ruang digital, tapi juga ikut terkikis di ruang nyata. Sementara di sisi lain, sekolah masih sibuk mengejar capaian akademik dan digital skills, tanpa menyeimbangkannya dengan digital ethics.
Sekolah Digital, Tapi Tidak Etis
Sekolah memang tak bisa menutup mata terhadap media sosial. Dunia anak hari ini hidup di layar. Namun, yang perlu diubah bukanlah alatnya, melainkan cara memaknainya.
Melalui Gerakan Literasi Digital, pemerintah berupaya menanamkan kesadaran etika bermedia di kalangan pelajar. Di sejumlah sekolah, pelatihan tentang cyberbullying dan etika berbagi konten sudah mulai digelar. Sayangnya, semangat literasi digital ini masih lebih sering hadir dalam bentuk acara kampanye, belum menjadi kebiasaan belajar yang berkelanjutan.
Di sekolah tempat saya mengajar, kami mencoba menerapkan sistem sederhana tapi efektif. Selama pembelajaran berlangsung, seluruh ponsel siswa disimpan di loker khusus penyimpanan. Kunci loker dipegang oleh wali kelas dan hanya boleh diambil oleh ketua kelas bila ada pelajaran yang memang membutuhkan ponsel untuk kegiatan belajar.
Setelah digunakan, seluruh ponsel dikembalikan ke loker, dan kunci diserahkan kembali kepada wali kelas. Aturan ini bukan untuk membatasi, tapi untuk mendidik anak-anak mengelola kebebasan digital dengan tanggung jawab.