Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Generasi Lelah di Sekolah: Ketika Sarapan Jadi Kebiasaan yang Hilang

22 September 2025   00:23 Diperbarui: 22 September 2025   00:23 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Alarm Pagi yang Terabaikan

"Bu, saya belum sempat sarapan."
Kalimat itu terlalu sering terdengar di ruang kelas. Sebagai guru, saya kerap mendengar jawaban serupa ketika murid terlihat lesu, mengantuk, atau sulit berkonsentrasi.
Bagi sebagian orang tua, melewatkan sarapan dianggap sepele. Padahal, perut kosong di pagi hari bisa menjadi batu sandungan serius bagi kualitas belajar anak-anak kita.
Data Kementerian Kesehatan (2022) menunjukkan hanya 44% anak usia sekolah di Indonesia yang rutin sarapan setiap hari. Artinya, lebih dari separuh siswa berangkat sekolah dengan energi minim. Tidak heran bila konsentrasi mereka cepat menurun, bahkan berisiko mengalami masalah kesehatan ringan hingga pingsan.


Sarapan: Bahan Bakar Otak yang Terlupakan

Organisasi Pangan Dunia (FAO, 2021) menegaskan sarapan adalah kunci fungsi kognitif. Gula darah yang stabil setelah sarapan membantu otak berpikir jernih, mengingat lebih baik, dan merespons pelajaran dengan fokus.
Tanpa sarapan, tubuh anak akan mengambil cadangan energi darurat. Akibatnya, mereka cepat lelah, sulit mengikuti pelajaran, dan emosinya lebih mudah meledak.
Saya sering menyaksikan murid berulang kali menguap di jam pertama. Ada juga yang melamun saat diminta menjawab soal sederhana. Semua itu bukan semata karena malas, tapi karena otak mereka bekerja dalam kondisi bahan bakar yang kosong.


Fakta di Lapangan

Pengalaman di sekolah saya memperkuat data nasional. Setiap upacara bendera Senin pagi, selalu ada murid yang tiba-tiba pucat, pusing, bahkan hampir pingsan.
Ketika ditanya, sebagian besar mengaku belum sarapan. Ada yang hanya minum susu, ada pula yang tersenyum malu seakan tak tahu harus menjawab apa. Fenomena ini menegaskan bahwa masalah sarapan bukan sekadar statistik di atas kertas, tetapi realitas sehari-hari yang menghantam aktivitas pendidikan kita.
Guru dan teman-teman sekelas pun sering harus menghentikan kegiatan untuk menolong murid yang tidak kuat berdiri. Situasi ini menjadi alarm nyata: energi belajar anak-anak rapuh karena fondasi gizinya kosong di pagi hari.

Fondasi Sehat Dimulai dari Rumah

Sebagus apa pun program sekolah, fondasi kebiasaan sarapan tetap dibangun di rumah. Orang tua memiliki peran vital memastikan anak berangkat sekolah dengan perut terisi.
Namun, banyak alasan yang muncul: orang tua sibuk, anak sulit bangun pagi, atau tidak ada waktu menyiapkan makanan. Padahal, sarapan tidak selalu harus rumit. Sepotong roti dengan telur, nasi goreng sederhana, atau bubur instan dengan tambahan sayur sudah cukup memberi tenaga.
Kuncinya ada pada kesadaran dan konsistensi. Anak perlu memahami bahwa sarapan bukan pilihan, melainkan kebutuhan sehari-hari layaknya menyikat gigi sebelum berangkat sekolah.

Sekolah sebagai Agen Perubahan

Sekolah sering fokus pada kurikulum, sementara sisi gizi murid belum menjadi perhatian utama. Padahal, lingkungan sekolah punya peluang besar menanamkan budaya sarapan sehat.
Guru bisa memulai pelajaran dengan percakapan ringan soal menu sarapan murid. Dari sana, siswa bisa saling berbagi ide makanan sehat yang sederhana. Kantin sekolah juga dapat diarahkan menyediakan menu bergizi, bukan sekadar jajanan instan atau minuman tinggi gula.
Bahkan, langkah kecil seperti memberi waktu snack sehat di jam awal sudah bisa menunjukkan perhatian. Pesan yang sampai ke murid jelas: sekolah peduli bukan hanya pada nilai ujian, tapi juga energi belajar mereka.


Dari Pedoman hingga Program Nyata

Pemerintah sebenarnya sudah punya sejumlah inisiatif. Sejak 2017, Kementerian Kesehatan meluncurkan pedoman Isi Piringku yang menggantikan slogan lama 4 Sehat 5 Sempurna. Konsep ini menekankan pentingnya gizi seimbang, termasuk sarapan, sebagai fondasi tumbuh kembang anak.
Lebih jauh ke belakang, Kementerian Pertanian sejak 2011 mengenalkan konsep B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman). Meski awalnya fokus pada konsumsi pangan masyarakat, gagasan ini relevan untuk membentuk kebiasaan makan anak sekolah.
Kedua kampanye ini menegaskan bahwa pemerintah sadar: sarapan bukan sekadar soal kenyang, melainkan investasi bagi masa depan generasi.
Sayangnya, gaung program-program ini belum sepenuhnya menembus akar rumput. Banyak keluarga bahkan belum mengenalnya, apalagi menerapkannya secara konsisten di rumah.
Untuk menjawab tantangan itu, baru-baru ini pada 2025 hadir Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini mulai diterapkan di beberapa sekolah dengan tujuan memastikan anak-anak mendapatkan makanan bergizi di sekolah agar mampu belajar dengan konsentrasi penuh.
Namun, langkah ini masih terbatas. MBG belum merata ke seluruh daerah, dan belum semua siswa merasakan manfaat langsung, terutama dalam bentuk sarapan pagi yang konsisten. Artinya, ini baru merupakan langkah awal yang harus diperluas dan diawasi kualitasnya.

Risiko Jangka Panjang: Lebih dari Sekadar Lapar

Mengabaikan sarapan tidak hanya berdampak sesaat. Studi International Journal of Behavioral Nutrition (2020) menemukan bahwa anak yang rutin sarapan memiliki performa akademik lebih baik dibanding yang jarang sarapan.
Mereka juga cenderung lebih stabil secara emosional. Sebaliknya, kebiasaan melewatkan sarapan dapat memicu masalah gizi ganda: mudah lelah, rentan jajan sembarangan, hingga berisiko mengalami obesitas atau kekurangan zat gizi tertentu.
Sarapan bukan hanya urusan "tidak lapar". Ia adalah fondasi yang menentukan kualitas tumbuh kembang, bahkan prestasi generasi muda kita di masa depan.


Solusi Bersama: Dari Rumah ke Sekolah

Apa yang bisa kita lakukan?
* Orang tua: Biasakan anak bangun lebih awal, siapkan menu sederhana tapi bergizi. Tidak perlu mewah, yang penting seimbang.
* Guru: Jadikan sarapan topik ringan di kelas, serta beri edukasi gizi secara berkala.
* Sekolah: Pastikan kantin menawarkan menu sehat, dan ciptakan budaya peduli kesehatan di lingkungan belajar.
* Murid: Libatkan mereka memilih menu sarapan agar tumbuh rasa kepemilikan atas kebiasaan sehat ini.
Dengan langkah bersama, sarapan bisa tumbuh bukan hanya sebagai rutinitas, melainkan gaya hidup sehat generasi muda.

Energi Belajar Dimulai dari Piring Sarapan

Anak-anak adalah aset bangsa. Namun, bagaimana mereka bisa belajar maksimal bila perut kosong sejak pagi?
Sarapan bukan sekadar soal makanan, tetapi investasi pada kualitas generasi. Fenomena murid yang pusing saat upacara adalah peringatan nyata. Ia mengingatkan kita bahwa ada kebutuhan dasar yang sering diabaikan.
Maka, mari mulai dari hal kecil: memastikan anak-anak berangkat sekolah dengan energi penuh. Sebab pada akhirnya, masa depan mereka tidak hanya ditentukan oleh apa yang diajarkan guru, tetapi juga oleh apa yang mereka makan di pagi hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun