"Bu, game ini udah basi. Ada yang lain nggak?"
Kalimat itu masih terngiang di telinga saya. Seorang siswa kelas IX mengucapkannya dengan nada bercanda saat saya mencoba membuka pelajaran dengan permainan tepuk semangat. Seisi kelas tertawa kecil, sebagian lagi menunduk. Alih-alih mencairkan suasana, justru muncul keheningan canggung.
Fenomena ini bukan sekali dua kali saya temui. Baik saat mengajar maupun saat mengamati rekan guru, ice breaking yang seharusnya memecah kekakuan kadang malah membuat suasana semakin kaku. Beberapa guru termasuk saya terlihat kebingungan ketika rencana permainan tidak berjalan sesuai harapan, sementara siswa tampak kurang antusias atau bahkan canggung.
Saya ingat, pada suatu sesi pelajaran Bahasa Indonesia, saya mencoba membuka kelas dengan menyanyikan lagu anak-anak. Beberapa siswa menertawakan, yang lain bernyanyi sambil malu-malu. Setelah itu, kelas menjadi dingin. Seorang siswa berbisik, "Kok rasanya kayak di TK, Bu." Situasi itu membuat saya merenung: apakah niat baik guru bisa hilang begitu saja karena metode yang tidak relevan?
Saya tersadar generasi yang kita hadapi kini berbeda. Mereka adalah generasi Zillenial, lahir antara 1997--2012, termasuk Gen Z dan Alpha. Mereka tumbuh bersama teknologi, terbiasa dengan stimulasi cepat, dan haus pengalaman baru. Dunia mereka penuh informasi instan, interaksi digital tanpa batas, dan hiburan yang selalu tersedia. Mereka multitasking, terbiasa berpindah dari satu platform ke platform lain, dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap pengalaman belajar yang dinamis.Â
UNICEF (2021) bahkan mencatat bahwa siswa digital native memiliki rentang perhatian lebih pendek, sehingga ice breaking tradisional mudah kehilangan dampak.
Ice breaking tradisional, meski niatnya baik, tidak selalu efektif menjangkau mereka. Mengapa metode yang dulu ampuh kini terasa kaku dan membosankan? Jawabannya tidak sederhana. Ini berkaitan dengan perubahan pola pikir, cara belajar, dan ekspektasi terhadap interaksi sosial di kelas.
Miskonsepsi Ice Breaking di Kelas
Masih banyak guru yang berpegang pada anggapan lama: setiap kelas harus diawali ice breaking agar suasana cair dan anak-anak semangat. Secara teori, tidak salah. Namun praktiknya sering keliru.
Kesalahan paling umum antara lain:
- Menggunakan pola lama. Permainan tepuk semangat, nyanyian heboh, atau aktivitas fisik sederhana dianggap universal. Padahal, siswa SMP tidak selalu menikmatinya; sebagian malah merasa diperlakukan kekanak-kanakan. Saya pernah mencoba "ice breaking gerak cepat" dengan tepuk tangan dan loncat-loncat. Ada siswa tersenyum canggung, ada yang mengikuti dengan terpaksa, ada yang mengikuti dengan gembira, dan sebagian diam menunggu sesi itu selesai.
- Menganggap ramai berarti sukses. Suasana kelas yang ribut tidak selalu menandakan kesiapan belajar. Kadang, energi siswa habis di awal, fokus buyar, dan pembelajaran inti terganggu. Saya ingat saat sebuah kelas menjadi sangat riuh setelah permainan "tepuk semangat", tapi ketika masuk materi membaca puisi, perhatian siswa lenyap, mereka tampak letih dan kehilangan fokus.
- Mengabaikan relevansi usia. Aktivitas yang terlalu sederhana atau monoton bisa membuat siswa merasa bosan, bahkan canggung. Siswa Zillenial ingin merasa dihargai, bukan diperlakukan seperti anak kecil. Mereka ingin tantangan, pengalaman belajar yang bermakna, dan kesempatan untuk menunjukkan kreativitas.