Saya tergelitik dengan topik pilihan Kompasiana kali ini tentang menghidupi perpustakaan, pikiran saya langsung melayang jauh. Membayangkan bagaimana jika perpustakaan tidak lagi sekadar tempat buku disimpan, melainkan ruang yang benar-benar hidup. Dari situlah imajinasi saya berkelebat.
Bayangkan sebuah pagi di sekolah. Seorang siswa tidak lagi membuka buku paket tebal atau mencatat di papan tulis. Ia memakai headset VR, lalu seketika berada di dalam tubuh manusia, menyaksikan jantung berdetak, darah mengalir, dan paru-paru mengembang.
Di ruang sebelah, siswa lain sedang berdiskusi sastra dengan avatar William Shakespeare. Sementara di sudut lain, ada kelompok yang tengah "terbang" ke planet Mars untuk belajar astronomi.
Apakah ini adegan film fiksi ilmiah? Ataukah cikal bakal perpustakaan masa depan kita?
Pertanyaan ini terasa radikal. Namun, bukankah semua perubahan besar selalu dimulai dari sebuah mimpi?
Dari titik inilah saya mulai menoleh pada kenyataan di sekitar kita: bagaimana wajah perpustakaan hari ini?
Perpustakaan Kita: Tempat Buku, Bukan Tempat Hidup
Mari kita jujur. Bagi banyak siswa, perpustakaan masih identik dengan ruang sunyi, rak kayu berdebu, aroma kertas lama, dan buku-buku yang jarang disentuh. Tidak heran bila tempat yang seharusnya menjadi pusat aktivitas belajar justru terasa kaku dan jauh dari kehidupan mereka.
Data Perpusnas (2023) bahkan memperkuat kenyataan ini: tingkat kunjungan siswa ke perpustakaan sekolah di Indonesia tercatat masih di bawah 40%. Angka tersebut menunjukkan bahwa perpustakaan belum berhasil hadir sebagai jantung belajar, melainkan sekadar ruang formalitas yang kurang menggairahkan.
Generasi Z dan Alpha tumbuh bersama gawai, TikTok, dan game interaktif. Tak heran jika perpustakaan konvensional terasa tidak relevan. Jika tidak bertransformasi, perpustakaan hanya akan menjadi museum buku.
Maka wajar bila pikiran saya berkelana: bagaimana jika perpustakaan bisa hidup, bergerak, dan menawarkan pengalaman baru? Dari sinilah gagasan perpustakaan metaverse lahir.