Di Jakarta, misalnya, SMA Kolese Gonzaga memperbolehkan siswa laki-laki berambut gondrong, dengan syarat prestasi akademik mereka berada di atas nilai 85. Kebijakan ini menjadi bentuk apresiasi: rambut gondrong bukan masalah, selama tanggung jawab akademik terpenuhi.
Sebaliknya, di SMA Negeri 70 Jakarta, aturan rambut tetap tegas. Tahun 2023, sekolah ini mengadakan program unik bernama "Razia Ganteng". Sebanyak 24 siswa berambut panjang dipotong gratis oleh barbershop yang bekerja sama dengan sekolah. Sebagian menganggapnya langkah kreatif, sebagian lain menilai tetap represif.
Di Bengkulu, keluhan siswa tentang razia rambut panjang bahkan sampai ke telinga Gubernur. Alih-alih hanya menegur sekolah, ia menghadirkan barbershop keliling ke sekolah-sekolah. Tujuannya jelas: merapikan rambut dengan cara yang lebih ramah.
Data nasional juga memberi gambaran skala isu ini. Menurut Kemendikbudristek (Dapodik 2024), terdapat 439.311 sekolah di Indonesia, dari PAUD hingga SMA/SMK. Artinya, meski ada contoh sekolah yang fleksibel, mayoritas masih mempertahankan aturan rambut tradisional.
Sekolah Saya: Kasus SMP Kristen Kanaan Jakarta
Di SMP Kristen Kanaan Jakarta, aturan rambut masih sangat jelas: anak putri yang berambut panjang wajib diikat satu atau setengah, sedangkan anak putra harus pendek dan tidak boleh melebihi alis.
Meski aturan demikian, tetap ada sebagian siswa yang enggan menaati termasuk siswa atau guru baru yang belum terbiasa mengingatkan. Saya kerap menjadi orang yang cerewet mengingatkan agar rambut putri segera diikat sesuai aturan.Â
Ada juga kasus menarik: beberapa anak putri merasa kurang percaya diri saat rambutnya diikat. "Kalau diikat, wajahku kelihatan banget," kata seorang siswi suatu pagi. Ungkapan itu sederhana, tetapi menunjukkan bahwa aturan sekolah sering bersinggungan dengan persoalan psikologis remaja terutama soal kepercayaan diri di depan teman sebaya.
Pengalaman ini menggambarkan bahwa aturan bukan hanya tertulis di tata tertib sekolah, tetapi hidup dalam interaksi sehari-hari. Kedisiplinan rambut di sekolah saya bukan teori. Ia diuji setiap pagi, lewat pengamatan guru, pengingat antara teman, dan kadang teguran ringan.
Pertanyaan Kritis yang Layak Didengar
Setiap generasi punya cara memandang aturan. Ada yang menganggapnya usang. Ada pula yang merasa aturan rambut menghambat ekspresi diri. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu wajar. Ia adalah tanda tumbuhnya sikap kritis.
Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita menjawabnya. Guru dan orang tua sebaiknya tidak hanya berkata, "Karena aturan sekolah begitu." Lebih dari itu, mereka perlu menjelaskan makna di baliknya: kebersihan, disiplin, kesiapan belajar. Dengan begitu, aturan tidak lagi terasa mengekang, melainkan dipahami sebagai bagian dari proses tumbuh.
Rambut dan Pelajaran Hidup
Pada akhirnya, rambut hanyalah pintu masuk. Hal yang paling esensi adalah nilai yang tersembunyi di balik aturan sederhana itu. Tentang belajar menghargai diri, menjaga kesehatan, menaati aturan, dan siap hadir sepenuhnya di ruang belajar.