Suara ketukan kayu di tiang listrik selalu menjadi tanda khas malam di kampung kota. Dulu, anak-anak kecil sering terbangun sebentar lalu kembali tidur dengan aman. Para ibu rumah tangga merasa lega karena tahu ada bapak-bapak ronda yang setia berkeliling, menjaga lingkungan. Rasa tenteram itu sederhana, namun nyata.
Kini, pemandangan berbeda banyak hadir di ibu kota. Kamera CCTV berdiri di setiap sudut gang, seakan menjadi mata yang tidak pernah tidur. Di kompleks saya, kawasan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, hampir setiap ujung gang sudah dipasangi CCTV. Mereka yang berjaga bisa memantau lewat layar, tapi tetap memilih berkeliling sambil memukul tiang listrik. Sebuah sinyal sederhana: ronda masih hidup.
Pertanyaannya, apakah CCTV yang serba modern bisa benar-benar menggantikan pos ronda yang guyub? Atau justru dua-duanya perlu berjalan berdampingan?
Lebih dari Sekadar Jaga Malam
Siskamling bukan hanya tentang keamanan. Ia adalah ruang sosial. Bapak-bapak yang mungkin di siang hari sibuk dengan pekerjaan, di malam hari mereka bisa duduk bersama, curcol, dan bercanda. Ditemani dengan teh juga kopi panas yang selalu siap, entah dari iuran kas atau sumbangan warga yang berhalangan ronda. Termasuk suami saya yang jika tak bisa hadir, biasanya menitipkan kopi dan rokok sebagai bentuk partisipasi.
Hal yang menarik, tidak ada satu pun yang mendapat bayaran. Semua berjalan atas dasar kesadaran. Walau rasa kantuk mendera, semua melakukannya dengan tulus. Inilah sisi yang jarang dimiliki teknologi: rasa tanggung jawab kolektif.
Ronda biasanya berlangsung antara pukul 11 malam hingga menjelang subuh. Ada jadwal yang dibagi, tapi sering kali bergeser mengikuti kesibukan warga. Tidak ada yang memaksa, tapi rasa kebersamaan membuat semua rela hadir. Oleh sebab itu, meski terlihat sederhana, pos ronda adalah sekolah kehidupan sosial yang nyata.
CCTV: Mata yang Tak Pernah Berkedip
Di sisi lain, CCTV menawarkan rasa aman yang cepat dan instan. Menurut data Polres Jakarta Timur (2022), daerah dengan pemasangan CCTV aktif mengalami penurunan tindak kriminal hingga 30%. Kamera menjadi bukti hukum yang sahih, bahkan sering kali lebih dipercaya daripada saksi manusia.
Namun, ada keterbatasan. CCTV hanya merekam. Ia tidak bisa langsung berteriak ketika maling mengintai. Ia tidak bisa mengusir remaja yang nongkrong sambil minum minuman keras di pinggir jalan. Ia menunggu manusia yang menafsirkan gambar. Artinya, pada akhirnya, teknologi tetap butuh manusia.
Data yang Bicara
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (2023), angka kriminalitas di perkotaan Indonesia memang masih tinggi. Jakarta sendiri mencatat ribuan kasus pencurian setiap tahunnya. Di sisi lain, tingkat partisipasi warga dalam kegiatan sosial seperti ronda semakin menurun, terutama di kawasan perumahan modern yang mengandalkan satpam atau CCTV.
Padahal, menurut Kementerian Dalam Negeri (2021), desa atau kelurahan dengan sistem ronda aktif mengalami tingkat kriminal lebih rendah hingga 40% dibanding yang hanya mengandalkan teknologi. Angka ini menegaskan bahwa kehadiran manusia yang berpatroli masih efektif.