Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

One in a Million Moment: Saat Si Kakak Pertama Kali Mengalah

7 September 2025   18:36 Diperbarui: 7 September 2025   18:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kakak akhirnya mengalah dan memberikan boneka kesayangannya kepada adik, sebuah tanda kecil tumbuhnya empati. Sumber: Dokpri - Gen AI 

Setiap ibu dengan dua anak balita pasti akrab dengan drama sehari-hari: tangis, rengekan, dan rebutan mainan. Ada hari-hari di mana rumah terasa seperti panggung sandiwara tanpa henti. Kadang melelahkan, kadang membuat kepala pening, tapi di balik itu semua selalu ada kejutan kecil yang tak terduga.

Beberapa waktu lalu, saya mengalami momen yang sederhana namun terasa luar biasa. Momen itu bukan berupa perayaan ulang tahun, bukan pencapaian besar di sekolah, bukan pula peristiwa yang dilihat banyak orang. Itu hanya terjadi di ruang keluarga, dengan dua anak perempuan saya yang masih kecil tapi bagi saya, momen itu adalah One in a Million Moment.

Drama Sehari-Hari Dua Balita

Rumah kami hampir selalu riuh oleh suara dua balita. Anak pertama saya, berusia empat tahun, sedang berada di fase ingin menunjukkan kemandiriannya. Ia sering berkata, "Aku sudah besar, Mah!" dengan penuh percaya diri. Di sisi lain, adiknya yang baru satu tahun masih sepenuhnya bergantung pada saya, dari bangun tidur hingga menjelang malam.

Hasilnya bisa ditebak: hampir setiap hari ada pertengkaran kecil. Kakak merasa adiknya selalu merebut perhatian atau mainannya. Sementara adik, dengan kosakata terbatas, hanya bisa berteriak atau menangis keras setiap kali keinginannya tidak terpenuhi. Dan saya? Hampir selalu berperan sebagai wasit yang mencoba menengahi, sambil menahan napas panjang agar emosi tidak meledak.

Sore itu, adegan yang sama terulang kembali.

"Ini punya aku! Jangan ambil!" teriak kakak sambil memeluk erat boneka kucing favoritnya.
"Uaaa... maamaaa..." adik berusaha meraih boneka yang sama sambil menangis kencang.

Saya yang sedang membereskan dapur langsung bergegas menghampiri. Dalam hati saya berkata, ah, ini lagi... Biasanya, situasi seperti ini berakhir dengan dua tangisan sekaligus: adik menangis karena tidak mendapat mainan, kakak menangis karena dipaksa berbagi.

Dialog yang Mengubah Segalanya

Namun sore itu berbeda. Saat saya sudah siap melerai, kakak tiba-tiba terdiam. Ia menatap boneka kucing itu cukup lama, lalu melihat wajah adiknya yang basah oleh air mata.

Dengan wajah cemberut dan nada setengah kesal, ia akhirnya menyerahkan boneka itu. "Ya sudah, ini buat adik..." katanya lirih.

Adik langsung berhenti menangis. Senyumnya merekah sambil memeluk boneka itu erat-erat. "Emm... meeong" katanya dengan logat bayi yang belum jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun