Pernahkah Anda menerima kabar yang membuat jantung seakan berhenti sejenak? Saya mengalaminya beberapa hari yang lalu. Mamah, 70 tahun, tampak lemah di rumahnya di Bandung. Batuk berdahak, bahkan ada sedikit bercak darah.
Kabar itu membuat pikiran saya berlari-lari sendiri. Jarak Jakarta--Bandung terasa jauh, tapi tanpa ragu, saya menyiapkan diri untuk pergi bersama suami dan dua anak, berharap dapat menemani Mamah di tengah kondisinya sekarang.
Malas Makan: Lebih dari Sekadar Pilihan
Sesampainya di rumah, Mamah tampak pucat dan sayu. Ia menolak makanan dengan jawaban singkat:Â "Malas." Kata sederhana itu ternyata menyimpan risiko besar.
Saat diperiksa di klinik, dokter menatap serius dan bertanya,
"Kenapa Ibu tidak mau makan? Tidak semangat?"
"Iya, Dok.. saya cape.."
Dokter menjelaskan bahwa kehilangan nafsu makan pada lansia bisa menjadi gejala awal berbagai kondisi serius: infeksi paru, gangguan pencernaan, hingga depresi usia lanjut. Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan sekitar 30--40% lansia mengalami penurunan nafsu makan yang berdampak pada malnutrisi, dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa malnutrisi pada lansia meningkatkan risiko rawat inap hingga 50% lebih tinggi. Namun, gejala ini sering dianggap sepele oleh keluarga.
Saya teringat masa kecil, ketika Mamah selalu makan dengan lahap. Ia memasak dengan senyum hangat, memastikan setiap anggota keluarga kenyang. Kini, menolak makanan, ia seakan kehilangan sebagian dirinya. Malas makan bukan sekadar fisik melemah, tapi juga bisa menandakan kesepian, kehilangan semangat hidup, atau kesedihan yang tersimpan sendiri.
Peran Keluarga: Kunci Pencegahan
Selama beberapa hari memantau Mamah, saya menyadari bahwa perhatian keluarga sangat penting. Malas makan biasanya muncul perlahan: setengah porsi ditinggalkan, cemilan tidak disentuh, hingga menolak makan sepenuhnya. Jika dibiarkan, penurunan kesehatan bisa sangat cepat.
Menurut survei Yayasan Gizi Indonesia 2022, lebih dari 60% keluarga menunda intervensi karena menganggap malas makan pada lansia hanyalah kebiasaan atau keinginan sendiri, padahal setiap hari tanpa asupan cukup meningkatkan risiko komplikasi serius.