Mohon tunggu...
Egy Fernando
Egy Fernando Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pendiam dan Pemalu. Menulis artikel hanya karena niat dan iseng.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Buruh: Gemuruh Suara Buruh

1 Mei 2020   17:36 Diperbarui: 1 Mei 2020   17:35 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat pada tanggal 1 Mei, dirayakan sebagai Hari Buruh Internasional atau yang biasa disebut dengan May Day. Sejarah May Day bermula pada 1886, dimana kala itu terjadi pembunuhan tujuh anarkis yang dilakukan oleh pemerintahan kapitalis lalu mengakibatkan rakyat geram dan menyulut api protes buruh.

Tidak lama berselang terjadilah aksi unjuk rasa disertai mogok kerja massal dan demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh ratusan ribu buruh yang memadati Lapangan Haymarket, Chicago, Amerika Serikat. Mereka semua menuntut 8 jam kerja sehari dari yang tadinya sekitar 19 jam untuk harus bekerja dalam sehari. Aksi ini juga berlangsung selama 4 hari dari tanggal 1 Mei hingga 4 Mei 1886. Setelah kejadian tersebut, pada 1889 Kongres Sosialis Internasional di Paris menetapkan bahwa 1 Mei sebagai Hari Buruh dan sampai sekarang tanggal sakral tersebut digunakan untuk menyuarakan perjuangan kaum buruh di setiap belahan dunia.

Jika kita membicarakan nama buruh di Negara Indonesia maka mendengar nama "Buruh" seakan-akan terdapat konotasi akan kelas pekerja yang begitu rendah. Dalam KBBI, kata buruh sendiri berarti orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja. Ketika Indonesia masih berjuluk Nusantara, nama buruh dikenal dengan "koelie".

Berawal dari efek ekonomi liberal yang terjadi pada 1863, bangsa Eropa hadir membawa para pemodal ventura serta menginjakkan kakinya di lahan pertanian dan perkebunan Indonesia. Mereka juga membentuk suatu lahan perkebunan raksasa dengan mempekerjakan budak-budak dari Cina dan Pulau Jawa yang dimana dikenal dengan nama "Djakon" atau Djawa Kontrak.

Ketika itu, rakyat dibodohi dengan tawaran menggiurkan berupa hasil pendapatan atau uang yang hanya berujung pada paksaan untuk melakukan pekerjaan kuli tersebut. Realita yang terjadi budak tetaplah budak dan kuli hanyalah kuli, jerih payah yang selalu mereka lakukan hanya menghasilkan keuntungan yang lebih banyak dinikmati oleh kaum pangeran dan para raja (JC Van Leur, 1955).

Perubahan zaman yang terus terjadi, tidak membuat kelas buruh di Indonesia mengalami perubahan strata yang begitu signifikan dikarenakan buruh menganggap bahwa dirinya lahir dan mengemban tugas buruh bukan karena suratan takdir. Melainkan buruh ada akibat desain sosial yang dibentuk oleh kaum kapitalis dalam melanggengkan kekuasan serta kekayaannya. Hadirnya sistem oligarki hanya membuat jurang antara buruh dengan majikan semakin luas yang dibarengi dengan perlakuan tidak adil dari para pemilik modal.

Buruh dituntut untuk selalu bekerja tiap hari, tiap malam, dan tiap jam hanya untuk mengejar target kesuksesan dari suatu perusahaan. Bahkan demi mencapai hasil yang maksimal, pengusaha merayu buruh dengan iming-iming upah yang besar untuk mengajak seluruh keluarganya supaya dapat bekerja sama dalam mensukseskan proyek perusahaan tersebut.

Buruh sejatinya tetaplah manusia, mereka bukanlah robot atau mesin yang dapat melakukan berbagai hal secara bersamaan maupun terus menerus. Buruh dapat merasakan kelelahan, stress, depresi hingga jatuh sakit jika melakukan pekerjaan yang tiada henti.

Buruh juga memerlukan perhatian dan perlindungan akan hak asasinya dalam hal kesehatan. Seharusnya mereka diberikan waktu untuk menghela nafasnya, akan tetapi justru selalu dipaksa untuk mengejar target yang tidak kian kunjung selesai dan tidak pernah menerima hadiah waktu untuk beristirahat sejenak agar dapat kembali memulihkan tenaganya atau sekedar berkumpul dengan keluarga.

Dengan tuntutan pekerjaan yang begitu berat disertai tugas lembur yang tidak pernah diberikan tambahan upah, semakin lama buruh pun tersadar bahwa hak dari tetesan keringat jerih payah mereka dalam bekerja tidak pernah terpenuhi. Mereka pun mengambil inisiatif untuk melakukan aksi demonstrasi demi menyuarakan hak-hak mereka yang belum terpenuhi tersebut.

Aksi yang dilancarkan berupa turun ke jalan dengan membawa poster atau banner yang bertuliskan tuntutan dan suara aspirasi mereka. Terkadang mereka juga melakukan aksi mogok kerja massal guna membuat pengusaha sadar bahwa tanpa buruh suatu perusahaan tidak akan berjalan dengan baik. Akan tetapi, aksi tersebut ternyata hanya dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Justru segala tindakan aksi protes sosial yang buruh lakukan hanya dianggap memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghalangi proses pembangunan dari suatu perusahaan dan berujung pada tuduhan makar.

Pemerintah menanggalkan kesetaraan ekonomi pada jati diri buruh dan menyebut bahwa aksi buruh hanyalah sebuah bentuk kekerasan yang berupa wujud gerakan kiri dan setiap hal yang berbau kiri pasti di cap komunis dan tidak pancasilais.

Rezim Orde Baru selalu menggiring opini negatif di mata publik tentang aksi buruh yang hanya mengakibatkan kemacetan dijalan, mengganggu aktivitas diluar, bahkan dianggap dapat merusak perputaran ekonomi serta investasi negara. Stigma dan perspektif buruk yang terus digaungkan pada masa Orde Baru membuat masyarakat buruh mengalami alienasi dalam lingkungan hidupnya.

Banyak masyarakat menilai aksi buruh dalam menyuarakan suara aspirasinya merupakan aksi hina yang ditunggangi oleh kepentingan politik untuk menjatuhkan kekuasaan pada era rezim  Presiden Soeharto yang dulu terkenal akan keotoritariannya.

Nasib buruh tidak selalu bagus disetiap perkembangan jaman, atas dasar keterbatasan membuat sebagian dari mereka terpaksa untuk menjadi buruh sampai di usia tua. Bahkan ketika mereka sudah lemah dan menua, mereka hanya mendapat tambahan perlakuan yang tidak adil dari sang penguasa ekonomi, mereka diberhentikan dari ladang pencarian nafkahnya dikarenakan tenaga mereka sudah tidak dibutuhkan lagi, lebih mirisnya lagi mereka tidak diberi pesangon sedikitpun untuk menjalani roda kehidupan masa tuanya.

Para Pemilik Perusahaan tidak pernah merasa rugi memberhentikan pekerja tua dari perusahaannya dikarenakan mereka berpikir dapat mencari pengganti pekerja yang lebih muda dan bertenaga. Seolah-olah kaum pekerja hanya dianggap sebagai sebuah mesin usang yang apabila rusak harus dibuang dan dapat diganti dengan yang baru.

Kebanyakan buruh tidak terlalu mementingkan nasib mereka dikemudian harinya, asal bisa makan dan berkumpul dengan keluarga, hati mereka akan terasa bahagia, dikarenakan upah atau gaji yang mereka hasilkan hanya dapat mencukupi biaya makan mereka sehari-hari dan terkadang cicilan serta tagihan utang selalu menguras dompet mereka hingga membuat mereka tertekan dalam menjalani hidup. Buruh laksana pekerjaan determinan, sekedar mengisi waktu hingga ajal menjemput kita (Andito Suwingyo, 2008).

Buruh hanya diberikan upah yang sesuai dengan apa yang mereka hasilkan, bukan apa yang selama ini mereka kerjakan. Upah hanya menjadi legitimasi industrial dari suatu perusahaan dan bukan lagi sebagai tolak ukur tanda penghargaan atas segala usaha yang dilakukan dalam mencapai target produksi. Upah sudah berubah menjadi alat hegemoni pemilik modal terhadap kelas buruh (Andito Suwingyo, 2008).

Upah layak yang selalu dijanjikan oleh tiap pemilik perusahaan ternyata hanya sebuah taktik licik hasil utak-atik yang menyerupai Gaji Normal dengan nilai yang sama dari suatu standar upah minimum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Upah bukan lagi suatu wujud penghasilan yang benar-benar layak untuk didapatkan buruh atas hasil kerja keras jerih payah yang selama ini telah mereka lakukan demi perusahaannya. Bahkan hanya untuk mendapatkan bonus tambahan upah saja buruh dipaksa untuk melakukan kerjaan yang porsirnya notabene tidak sebanding dengan tambahan tersebut.

Dalam lingkungan kaum pekerja sendiri terdapat hegemoni bahasa yang diciptakan sedemikian rupa untuk membedakan tipe atau julukan dari kaum pekerja dan berujung pada ketimpangan kelas. Seperti nama "buruh", dimana termasuk golongan pekerja yang berada pada strata paling bawah dalam kaum pekerja, biasanya diartikan sebagai mereka yang bekerja di luar ruangan (outdoor) dan lebih banyak menggunakan tenaga otot atau fisik dalam melakukan pekerjaannya.

Pekerja buruh juga kebanyakan dari kalangan rakyat miskin atau kaum kebawah yang bingung untuk mencari pekerjaan yang layak akibat keterbatasan yang mereka miliki. Lalu di posisi tengah ada istilah "karyawan" yang melakukan segala tindak pekerjaannya di dalam ruangan (indoor), mereka yang mengemban julukan ini biasanya dihuni oleh para kelas menengah atau mereka yang telah mendapatkan gelar pendidikan formal.

Mereka lebih banyak menggunakan keterampilan otak atau pemikirannya dalam melakukan pekerjaan. Yang terakhir ialah "pegawai" dimana sebutan ini erat kaitannya dengan mereka yang bekerja tanpa harus mengeluarkan tenaga dan pikiran yang lebih untuk menuntaskan pekerjaannya. Mereka biasanya berada di lingkup lingkaran birokrasi dan dunia pemerintahan (ambtenaar), mereka berada ditingkat paling atas dalam strata kaum pekerja yang diisi dari kalangan ningrat atau orang yang memiliki hubungan famili antara pejabat dan pegawai di dalam suatu instansi tertentu.

Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, khususnya dalam dunia pekerjaan pernahkah kita mendengar istilah "kartu absensi" atau "mengisi absen" terlebih dahulu sebelum memulai pekerjaan yang hendak kita lakukan? Kata "absen" dalam KBBI memiliki arti yakni, "tidak masuk (sekolah, kerja dan sebagainya); tidak hadir".

Pembuatan istilah tersebut juga termasuk ke dalam hegemoni bahasa yang dibuat oleh pemilik perusahaan, seolah-olah mereka menganggap bahwa buruh sangatlah tidak diperlukan bahkan tidak dianggap kehadirannya di mata perusahaan, lalu menjurus pada pemberian upah atau gaji yang tidak sebanding dengan kinerja buruh.

Seharusnya buruh atau pekerja diberikan didikan dalam penggunaan bahasa yang lebih baik seperti pemberian nama "kartu presensi" dalam mengurus atau mengisi kehadirannya, dikarenakan arti "presensi" sendiri dalam KBBI adalah "kehadiran" yang dimana lebih layak atau memiliki konotasi positif dalam hal administrasi perusahaan.

Akibat dari hegemoni bahasa yang tercipta, buruh-buruh yang selama ini bekerja dengan sepenuh hati hanya dipandang sebelah mata oleh perusahaan dan mereka memberikan upah kepada buruh hanya berdasarkan tingkat kehadiran bukan karena hasil ketekunan buruh bekerja. Upah bukan lagi hasil dari keringat buruh dan ketekunan dalam melakukan pekerjaan, melainkan sekedar sumbangan atas penilaian sebelah mata dari suatu perusahaan.

Sumber: kaltim post
Sumber: kaltim post

Dibalik penderitaan dan ketertindasan yang dialami oleh buruh terdapat Kapitalisme yang memegang kendali penuh dihampir seluruh sistem perekonomian di dunia ini. Kapitalisme adalah momok kesenjangan dan ketimpangan antara buruh, majikan dengan alat produksi. Kapitalisme membuat sistem dimana orang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin sengsara.

Kapitalisme mendidik pengusaha untuk terus mementingkan kekayaan dengan cara mengambil profit yang begitu besar serta menguasai hak milik modal dan alat produksi dari tiap tetesan keringat jerih payah buruh.

Kapitalisme membentuk desain sosial terhadap masing-masing individu untuk terus mencari kekayaan dengan cara bersaing dalam memperebutkan ataupun mengembangkan pekerjaannya masing-masing. Masyarakat memiliki pemikiran bahwa daripada susah menjalani persaingan dalam mengembangkan pekerjaan sendiri, lebih baik mendaftar sebagai kaum pekerja saja dan menjalani pekerjaan dengan mematuhi majikan.

Dalam pencarian pekerjaan tersebut seseorang telah ditanamkan target untuk memiliki penghasilan yang besar demi mencukupi kehidupannya, akibatnya yang terjadi banyak diantara kita termasuk buruh itu sendiri yang rela menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya demi mendapatkan pencapaian yang berupa upah tersebut.

Kita menjual cita-cita dan mimpi demi sebuah upah yang nilainya belum tentu cukup berarti, lalu merelakan kebebasan kita diambil alih oleh korporasi demi sebuah kepemilikan material pribadi. Ironisnya upah yang diberikan tidak sebanding dengan hasil penjualan produksi. Contohnya, buruh sepatu belum tentu bisa membeli sepatu yang telah di produksi dari perusahaannya sendiri. Bahkan upah yang diterima saja dibawah dari harga sepatu tersebut.

Melihat dari perlakuan yang membuat buruh untuk terus bekerja dalam jangka waktu yang panjang disertai dengan upah yang tidak layak dan tidak adil untuk diberikan maka dapat disimpulkan bahwa Kapitalisme hanya sedang melakukan tindak eksploitasi terhadap masyarakat dan sumber daya alam.

Menilik kondisi buruh ditengah wabah saat ini, membuat masyarakat gerah terhadap ulah kebijakan pemerintah yang semakin tidak jelas tak terarah. Di Indonesia sendiri banyak sekali kasus pemberhentian hubungan kerja atau kerap disapa PHK. Perusahaan juga lebih suka memanggilnya dengan istilah dirumahkan.

PHK terhadap kaum pekerja baik itu, buruh, karyawan ataupun pegawai telah terjadi dimana-mana. Akibat wabah yang merebak, membuat sistem perekonomian hancur lebur. Mulai dari sektor industri, agraria, sampai jenjang perusahaan teknologi saling berlomba-lomba melakukan PHK dalam jumlah besar-besaran. Akibatnya banyak masyarakat yang mendadak beralih dari kaum pekerja menjadi orang pengangguran.

PHK yang terjadi dilakukan oleh perusahaan tanpa keputusan yang bijak dikarenakan perusahaan melakukan PHK hanya secara sepihak. Terlebih hak-hak buruh atau kaum pekerja yang diberhentikan tidak terlaksana, seperti tidak diberikannya pesangon ataupun tunjangan hari raya selepas dari pekerjaan mereka.

Selain itu disamping dari adanya pemberhentian hubungan kerja yang sedang marak saat ini, pemerintah masih sempat saja mencuri kesempatan untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja Omnibus Law di tengah wabah pandemi. Sudah jelas kita ketahui bahwa Omnibus Law sangatlah merugikan masyarakat, terutama khususnya bagi kaum pekerja atau buruh. Dikarenakan hak buruh akan semakin dikekang dalam beberapa pasal yang tertera dalam RUU tersebut.

Menurut beberapa serikat buruh, dengan adanya RUU Cipta Kerja ini justru semakin membuat buruh tercekik akibat dari hak yang berupa pesangon akan dihapuskan, sementara pesangon sangatlah penting untuk didapatkan jika salah satu pekerja akan terkena dampak dari pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga RUU ini beresiko untuk menghilangkan upah minimum pekerja dikarenakan pemerintah ingin menerapkan sistem upah yang baru yakni upah per jam yang kalau kita lihat buruh akan semakin dipaksa bekerja dalam hitungan per jam jika ingin menerima upah yang layak.

Buruh melakukan protes aksi nyata untuk menolak RUU Cipta Kerja atau yang tersampul sebagai Omnibus Law ini juga dikarenakan, jaminan sosial yang akan mereka raih dapat terancam sirna hilang begitu saja akibat dari perencanaan pemerintah untuk memberlakukan sistem kerja yang fleksibel. Sebagaimana diketahui, agar bisa mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian ketetapan pekerjaan dari suatu perusahaan tersebut.

Padahal jikalau meninjau dari dampak buruk wabah yang dihasilkan, masyarakat dipaksa untuk bertahan hidup dan melakukan segala aktivitas dari dalam rumah. Demi bertahan hidup dibutuhkan ketersediaan pangan dan ketersediaan tersebut harus diimbangi dengan pengeluaran yang ada.

Pemutusan hubungan kerja mengakibatkan masyarakat untuk tidak lagi menerima pendapatan sementara pengeluaran harus terus terjadi demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, terutama dalam hal pemenuhan nafsu perut untuk makan.

Masyarakat khususnya buruh sangat cemas, khawatir bahkan gusar dalam menghadapi wabah saat ini, buruh hanya bisa berharap pemerintah memiliki kepekaan untuk memberikan bantuan sosial berupa sembako ataupun dana bantuan langsung tunai supaya siklus kehidupan masyarakat yang terkena bencana pandemi ini dapat sejahtera dan hidup dengan tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun