Mohon tunggu...
Egy Fernando
Egy Fernando Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pendiam dan Pemalu. Menulis artikel hanya karena niat dan iseng.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Buruh: Gemuruh Suara Buruh

1 Mei 2020   17:36 Diperbarui: 1 Mei 2020   17:35 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah menanggalkan kesetaraan ekonomi pada jati diri buruh dan menyebut bahwa aksi buruh hanyalah sebuah bentuk kekerasan yang berupa wujud gerakan kiri dan setiap hal yang berbau kiri pasti di cap komunis dan tidak pancasilais.

Rezim Orde Baru selalu menggiring opini negatif di mata publik tentang aksi buruh yang hanya mengakibatkan kemacetan dijalan, mengganggu aktivitas diluar, bahkan dianggap dapat merusak perputaran ekonomi serta investasi negara. Stigma dan perspektif buruk yang terus digaungkan pada masa Orde Baru membuat masyarakat buruh mengalami alienasi dalam lingkungan hidupnya.

Banyak masyarakat menilai aksi buruh dalam menyuarakan suara aspirasinya merupakan aksi hina yang ditunggangi oleh kepentingan politik untuk menjatuhkan kekuasaan pada era rezim  Presiden Soeharto yang dulu terkenal akan keotoritariannya.

Nasib buruh tidak selalu bagus disetiap perkembangan jaman, atas dasar keterbatasan membuat sebagian dari mereka terpaksa untuk menjadi buruh sampai di usia tua. Bahkan ketika mereka sudah lemah dan menua, mereka hanya mendapat tambahan perlakuan yang tidak adil dari sang penguasa ekonomi, mereka diberhentikan dari ladang pencarian nafkahnya dikarenakan tenaga mereka sudah tidak dibutuhkan lagi, lebih mirisnya lagi mereka tidak diberi pesangon sedikitpun untuk menjalani roda kehidupan masa tuanya.

Para Pemilik Perusahaan tidak pernah merasa rugi memberhentikan pekerja tua dari perusahaannya dikarenakan mereka berpikir dapat mencari pengganti pekerja yang lebih muda dan bertenaga. Seolah-olah kaum pekerja hanya dianggap sebagai sebuah mesin usang yang apabila rusak harus dibuang dan dapat diganti dengan yang baru.

Kebanyakan buruh tidak terlalu mementingkan nasib mereka dikemudian harinya, asal bisa makan dan berkumpul dengan keluarga, hati mereka akan terasa bahagia, dikarenakan upah atau gaji yang mereka hasilkan hanya dapat mencukupi biaya makan mereka sehari-hari dan terkadang cicilan serta tagihan utang selalu menguras dompet mereka hingga membuat mereka tertekan dalam menjalani hidup. Buruh laksana pekerjaan determinan, sekedar mengisi waktu hingga ajal menjemput kita (Andito Suwingyo, 2008).

Buruh hanya diberikan upah yang sesuai dengan apa yang mereka hasilkan, bukan apa yang selama ini mereka kerjakan. Upah hanya menjadi legitimasi industrial dari suatu perusahaan dan bukan lagi sebagai tolak ukur tanda penghargaan atas segala usaha yang dilakukan dalam mencapai target produksi. Upah sudah berubah menjadi alat hegemoni pemilik modal terhadap kelas buruh (Andito Suwingyo, 2008).

Upah layak yang selalu dijanjikan oleh tiap pemilik perusahaan ternyata hanya sebuah taktik licik hasil utak-atik yang menyerupai Gaji Normal dengan nilai yang sama dari suatu standar upah minimum yang telah ditentukan oleh pemerintah. Upah bukan lagi suatu wujud penghasilan yang benar-benar layak untuk didapatkan buruh atas hasil kerja keras jerih payah yang selama ini telah mereka lakukan demi perusahaannya. Bahkan hanya untuk mendapatkan bonus tambahan upah saja buruh dipaksa untuk melakukan kerjaan yang porsirnya notabene tidak sebanding dengan tambahan tersebut.

Dalam lingkungan kaum pekerja sendiri terdapat hegemoni bahasa yang diciptakan sedemikian rupa untuk membedakan tipe atau julukan dari kaum pekerja dan berujung pada ketimpangan kelas. Seperti nama "buruh", dimana termasuk golongan pekerja yang berada pada strata paling bawah dalam kaum pekerja, biasanya diartikan sebagai mereka yang bekerja di luar ruangan (outdoor) dan lebih banyak menggunakan tenaga otot atau fisik dalam melakukan pekerjaannya.

Pekerja buruh juga kebanyakan dari kalangan rakyat miskin atau kaum kebawah yang bingung untuk mencari pekerjaan yang layak akibat keterbatasan yang mereka miliki. Lalu di posisi tengah ada istilah "karyawan" yang melakukan segala tindak pekerjaannya di dalam ruangan (indoor), mereka yang mengemban julukan ini biasanya dihuni oleh para kelas menengah atau mereka yang telah mendapatkan gelar pendidikan formal.

Mereka lebih banyak menggunakan keterampilan otak atau pemikirannya dalam melakukan pekerjaan. Yang terakhir ialah "pegawai" dimana sebutan ini erat kaitannya dengan mereka yang bekerja tanpa harus mengeluarkan tenaga dan pikiran yang lebih untuk menuntaskan pekerjaannya. Mereka biasanya berada di lingkup lingkaran birokrasi dan dunia pemerintahan (ambtenaar), mereka berada ditingkat paling atas dalam strata kaum pekerja yang diisi dari kalangan ningrat atau orang yang memiliki hubungan famili antara pejabat dan pegawai di dalam suatu instansi tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun