Mohon tunggu...
RENALDI BAYU
RENALDI BAYU Mohon Tunggu... I am a student at Udayana University.

@malleumiustitiae @refknow (Enjoy Writing, Reading and Dialectics)

Selanjutnya

Tutup

Horor

Kampus Ini Tidak Pernah Ada

8 Agustus 2025   15:00 Diperbarui: 8 Agustus 2025   13:37 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/31384528648393769/

Hai Kompasrianers,
Malem-malem gini paling enak baca yang bikin jantung deg-degan, ya kan? Yuk, aku ajak kalian masuk ke dunia horor yang... tenang, semuanya cuma fiksi, tapi jangan salah, sensasinya bisa nyata banget!

Ruang Kelas yang Tidak Menyimpan Waktu

Kabut turun perlahan di atas gedung tua fakultas itu. Bangunan tua dengan arsitektur kolonial yang terlupakan, jendela besar berdebu yang membiaskan cahaya matahari jadi pecahan warna abu-abu kehijauan. Di dalamnya, waktu seolah terjebak dalam pusaran entropi. Tak ada jam yang berdetak, tak ada kalender yang mencatat hari. Yang ada hanya papan tulis penuh coretan tentang teori-teori yang tak pernah diajarkan, dan suara-suara lembut yang muncul bukan dari mulut, tetapi dari dalam tubuh para mahasiswa.

Fajar duduk di sudut kelas, menghadap ke jendela yang mengarah ke taman tak terawat, tempat rumput tinggi tumbuh seperti rambut gila. Ia tidak bisa mengingat bagaimana ia sampai di sana. Nama dosennya menguap dari pikirannya. Tapi yang lebih menyeramkan adalah: ia bahkan tidak yakin pernah tahu siapa dosennya. Wajah sang pengajar seperti salinan dari satu wajah yang diulang berulang kali: tanpa mata, tanpa suara, hanya gerakan tangan yang menunjuk ke sesuatu yang tak kasatmata, sesuatu yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang telah menyerahkan pikirannya sepenuhnya.

Setiap hari, satu demi satu mahasiswa di sekitarnya menghilang. Tidak dengan teriakan. Tapi dengan keheningan. Tiba-tiba bangku kosong. Seolah tak pernah ada tubuh yang duduk di situ. Seolah kehadiran hanya ilusi yang perlahan terhapus dari kesadaran kolektif. Bahkan kursi mereka akan berubah bentuk. Menyusut, mengecil, lalu menjadi noda tak berwujud di lantai.

Fajar mencoba bertanya, tapi saat ia membuka mulutnya, suara yang keluar adalah milik orang lain. Bahasa yang tak ia kenal, frasa-frasa patah yang menggema tanpa arti. Ia sadar: ini bukan hanya mimpi buruk. Ini adalah sistem. Kampus ini bukan tempat belajar. Ini adalah mekanisme pelupaan.

Ia memandangi tangannya dan menyadari bahwa jari-jarinya perlahan menghilang. Ia menulis catatan, tapi huruf-hurufnya segera meluntur, berganti dengan simbol-simbol yang hanya dipahami oleh entitas yang menyaksikannya dari balik cermin kelas. Ia menemukan lubang kecil di dinding, tempat ia mengintip dan melihat versi dirinya yang duduk di luar ruangan, menulis dengan tenang,terlalu tenang,dikelilingi oleh salinan dirinya yang lain.

Fakultas yang Mengajar Melupakan

Fajar mulai menjelajah ruang-ruang fakultas yang tidak logis. Ada lorong yang berputar ke dalam dirinya sendiri. Ia berjalan lima langkah ke depan dan menemukan dirinya kembali di tempat awal. Toilet yang tidak memiliki cermin, tapi setiap kali masuk, ia bisa melihat masa kecilnya sedang menangis. Aula kosong yang penuh suara debat antara para dosen fiktif, membicarakan tesis yang tak pernah ditulis.

Ia mencoba mencatat semuanya, tapi pena yang ia pegang menuliskan huruf-huruf yang tidak ia kenal. Lembar catatannya berisi nama-nama: nama orang yang tidak pernah ia temui, lengkap dengan catatan tentang bagaimana mereka menghilang dari dunia nyata.

Di ruang arsip, ia menemukan lemari-lemari besi tanpa label. Ia membukanya satu per satu. Tak ada dokumen akademik. Hanya potongan ingatan: foto-foto masa kecil yang tak pernah ia ingat, potongan video dirinya sedang duduk di kantin sambil berbicara sendiri, surat pengunduran diri dari organisasi yang tidak pernah ia ikuti. Semuanya terasa familiar, tetapi asing. Ia sadar, kampus ini menyimpan semua versi dirinya yang pernah ditolak oleh dunia nyata.

Orang-orang yang ia temui hanya mengingat sebagian dari dirinya. Beberapa memanggilnya "Yusuf", yang lain menyebutnya "Rektor", bahkan satu perempuan tua menyapanya sebagai "Dekan Zaman Lama". Tak ada yang benar-benar mengenal Fajar. Atau lebih tepatnya, tak ada yang ingin mengenalnya seperti dia ada sekarang.

Di suatu malam yang penuh kabut, di perpustakaan dengan rak-rak yang berdesakan seperti labirin, ia menemukan satu buku tanpa judul. Isinya hanya satu kalimat:

"Kampus ini adalah tempat jiwa-jiwa yang tidak berhasil berdamai dengan kegagalannya."

Kalimat itu seperti mantra. Membuat kepalanya sakit. Menggema dalam pikirannya. Ia merasa mual. Buku itu kemudian terbakar sendiri di tangannya, meninggalkan bekas luka di telapak kirinya berbentuk logo universitas yang samar.

Sejak malam itu, Fajar mulai melihat sosok-sosok di balik jendela yang tidak pernah ada di denah gedung. Mereka mengamati. Merekam. Seolah kampus ini adalah laboratorium jiwa yang dijebak dalam siklus pengulangan trauma. Ia menemukan ruangan bawah tanah dengan papan nama: "Pusat Studi Ketidakberhasilan Manusia". Di dalamnya hanya ada satu meja, satu kursi, dan salinan KTP-nya sendiri, dengan nama yang terus berganti setiap kali ia berkedip.

Mereka yang Tidak Bisa Dihapus

Fajar mulai bermimpi tentang versi lain dari dirinya. Ia melihat dirinya sedang memberi kuliah, mengenakan jas hitam elegan, disambut sorak-sorai mahasiswa. Ia melihat dirinya diangkat menjadi ketua senat mahasiswa, kekasihnya menunggu di lorong dengan senyum bangga. Lalu suatu pagi, ia mengikuti tangga belakang gedung dekanat. Tangga itu naik ke bawah, memutar dan terus menurun ke dalam tanah, ke dalam dunia yang berbeda.

Ia masuk ke dunia paralel. Dunia kampus yang tampak sempurna. Semua orang mengenalnya. Semua menyapanya. Ia tak pernah gagal. Semua tugas selesai. Semua seminar dipuji. Ia adalah ikon. Bahkan ada poster besar dirinya di aula kampus dengan slogan: "Keteladanan, Kejayaan, Kesempurnaan."

Namun perlahan ia sadar, semua orang di sini bernama "Fajar". Bahkan ia sendiri bertemu dengan versi dirinya yang lebih rapi, lebih pintar, lebih dicintai. Ia duduk di kantin dan disapa oleh Fajar-Fajar lain, masing-masing merepresentasikan aspek ideal dari dirinya: Fajar yang tidak pernah ragu, Fajar yang tidak pernah patah hati, Fajar yang menolak untuk takut.

Di perpustakaan, ia membaca buku-buku yang tidak mengajarkan teori, tapi mengajari cara menghapus versi buruk dari diri sendiri. Dunia ini adalah konstruksi: sebuah tempat persembunyian dari kenyataan. Tempat jiwa bersembunyi dari trauma, dari keputusan yang tidak bisa dibatalkan, dari masa lalu yang tak bisa diulang.

Di ruang bawah tanah dunia itu, ia bertemu "Arsip Tak Terakui", kelompok mahasiswa dari dunia-dunia alternatif yang gagal, tapi menolak dilupakan. Mereka mengenakan jas almamater dengan tanda silang merah besar di dada. Mereka berkata:

"Kami adalah mereka yang ditolak oleh kampus sempurna. Kami adalah versi tak diterima. Tapi kami nyata. Dan karena itu, kami abadi."

Mereka memintanya memilih: bertahan di dunia ini sebagai versi sempurna, atau kembali ke dunia retak tempat ia berasal. Dunia yang menyakitkan, tapi jujur. Dunia yang tidak menjanjikan kejayaan, tapi menawarkan keberadaan.

Fajar berdiri di hadapan versi idealnya. Mereka bertatapan. Sang Fajar sempurna berkata:

"Jika kamu menolakku, kamu akan menjadi tidak relevan. Kamu akan dilupakan, kamu akan gagal."

Fajar menatapnya dalam-dalam. "Aku bukan sempurna. Tapi aku nyata. Dan itu cukup."

Versi idealnya mulai meleleh, seperti lilin di bawah matahari. Dunia paralel retak. Struktur kampus sempurna runtuh. Fajar terhempas ke dalam kegelapan.

Epilog: Kembali ke Kampus yang Mati

Fajar terbangun di ruang kelas berdebu. Tak ada siapa-siapa. Tapi di mejanya, ada secarik kertas:

"Selamat telah kembali. Kamu mungkin bukan siapa-siapa. Tapi kamu bukan bayangan siapa pun."

Langkahnya pelan keluar dari ruangan. Lorong fakultas tampak lebih sempit. Tapi langit di luar lebih terang. Ia tak tahu apakah ia akan diingat. Tapi setidaknya, ia tak akan hidup dalam ketakutan menjadi versi yang tidak pernah benar-benar ada.

Di gerbang kampus, ia menoleh. Gedung tua itu kini hanya siluet. Seperti mimpi buruk yang baru saja ditinggalkan. Tapi bekas lukanya masih ada. Dan ia tahu: itu bukan hanya luka. Itu adalah bukti bahwa ia telah memilih menjadi dirinya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun