Orang-orang yang ia temui hanya mengingat sebagian dari dirinya. Beberapa memanggilnya "Yusuf", yang lain menyebutnya "Rektor", bahkan satu perempuan tua menyapanya sebagai "Dekan Zaman Lama". Tak ada yang benar-benar mengenal Fajar. Atau lebih tepatnya, tak ada yang ingin mengenalnya seperti dia ada sekarang.
Di suatu malam yang penuh kabut, di perpustakaan dengan rak-rak yang berdesakan seperti labirin, ia menemukan satu buku tanpa judul. Isinya hanya satu kalimat:
"Kampus ini adalah tempat jiwa-jiwa yang tidak berhasil berdamai dengan kegagalannya."
Kalimat itu seperti mantra. Membuat kepalanya sakit. Menggema dalam pikirannya. Ia merasa mual. Buku itu kemudian terbakar sendiri di tangannya, meninggalkan bekas luka di telapak kirinya berbentuk logo universitas yang samar.
Sejak malam itu, Fajar mulai melihat sosok-sosok di balik jendela yang tidak pernah ada di denah gedung. Mereka mengamati. Merekam. Seolah kampus ini adalah laboratorium jiwa yang dijebak dalam siklus pengulangan trauma. Ia menemukan ruangan bawah tanah dengan papan nama: "Pusat Studi Ketidakberhasilan Manusia". Di dalamnya hanya ada satu meja, satu kursi, dan salinan KTP-nya sendiri, dengan nama yang terus berganti setiap kali ia berkedip.
Mereka yang Tidak Bisa Dihapus
Fajar mulai bermimpi tentang versi lain dari dirinya. Ia melihat dirinya sedang memberi kuliah, mengenakan jas hitam elegan, disambut sorak-sorai mahasiswa. Ia melihat dirinya diangkat menjadi ketua senat mahasiswa, kekasihnya menunggu di lorong dengan senyum bangga. Lalu suatu pagi, ia mengikuti tangga belakang gedung dekanat. Tangga itu naik ke bawah, memutar dan terus menurun ke dalam tanah, ke dalam dunia yang berbeda.
Ia masuk ke dunia paralel. Dunia kampus yang tampak sempurna. Semua orang mengenalnya. Semua menyapanya. Ia tak pernah gagal. Semua tugas selesai. Semua seminar dipuji. Ia adalah ikon. Bahkan ada poster besar dirinya di aula kampus dengan slogan: "Keteladanan, Kejayaan, Kesempurnaan."
Namun perlahan ia sadar, semua orang di sini bernama "Fajar". Bahkan ia sendiri bertemu dengan versi dirinya yang lebih rapi, lebih pintar, lebih dicintai. Ia duduk di kantin dan disapa oleh Fajar-Fajar lain, masing-masing merepresentasikan aspek ideal dari dirinya: Fajar yang tidak pernah ragu, Fajar yang tidak pernah patah hati, Fajar yang menolak untuk takut.
Di perpustakaan, ia membaca buku-buku yang tidak mengajarkan teori, tapi mengajari cara menghapus versi buruk dari diri sendiri. Dunia ini adalah konstruksi: sebuah tempat persembunyian dari kenyataan. Tempat jiwa bersembunyi dari trauma, dari keputusan yang tidak bisa dibatalkan, dari masa lalu yang tak bisa diulang.
Di ruang bawah tanah dunia itu, ia bertemu "Arsip Tak Terakui", kelompok mahasiswa dari dunia-dunia alternatif yang gagal, tapi menolak dilupakan. Mereka mengenakan jas almamater dengan tanda silang merah besar di dada. Mereka berkata:
"Kami adalah mereka yang ditolak oleh kampus sempurna. Kami adalah versi tak diterima. Tapi kami nyata. Dan karena itu, kami abadi."