Setelah lebih dari satu dekade terombang-ambing di meja legislasi, Rancangan UU Masyarakat Adat kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025, yang berarti RUU tersebut menjadi salah satu prioritas utama yang akan dibahas dan disahkan oleh DPR RI. RUU ini telah lama stagnan sejak 2009 yang mana dari berbagai koalisi masyarakat telah mendesak untuk segera mengesahkan RUU tersebut. Secara general UU Masyarakat Adat ini bertujuan untuk memberikan payung hukum yang kuat bagi masyarakat adat, hak-hak, serta kelestarian alamnya.
Menanggapi peristiwa baru-baru ini di media sosial tentang aktivis Greenpeace yang menggaungkan tagar "Save Raja Ampat" dan "Tanah Papua Bukan Tanah Kosong" menjadi dorongan kembali untuk tidak menunda lagi dalam proses pengesahan RUU Masyarakat Adat ini. Â Setidaknya ada beberapa pasal dalam RUU tersebut yang dapat memberikan perlindungan hukum yang fundamental. Dalam Bab I pasal 3 tentang Ketentuan Umum, Masyarakat adat akan diberikan pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat. Demikian pula dalam Bab IV paragraf 2 pasal 22 tentang Hak Atas Sumber Daya Alam, Bahwasannya Masyarakat Adat berhak menglola dan memanfaatkan sumber daya alam yang berada di Wilayah Adat sesuai dengan kearifan lokal.
Potret kondisi terkini dari Raja Ampat yang mnyuguhkan keindahan alam bahari, hingga kini mendengar langsung cerita masyarakat adat yang berupaya mempertahankan tanah adatnya. Kita diperlihatkan bagaimana tambang, pembalakan, dan perkebunan besar merusak dan menghapus jejak keaslian Papua. Di tengah tekanan industri, masyarakat adat tak tinggal diam. Mereka terus menjaga wilayah adat dengan membangun pos jaga sampai pagar pembatas. Sebagai bentuk penolakan dan perlawanan ini bukan hanya soal identitas, tetapi juga demi ruang hidup generasi mendatang.Â
Di salah satu sudut MIWF 2025, suara dari papua semakin meluas. Bukan melalui laporan berita tetapi dari orang-orang yang lahir, bertumbuh kembang, dan terus bertahan di tengah tanah Papua yang perlahan mulai dilahap mesin tambang. Dalam acara diskusi tersebut, Topilus Bastian seorang penulis sastra asal Papua menambahkan suatu getir yaitu "Negara hanya peduli pada sumber daya alamnya, tidak pada manusianya." Ini bukan sekedar kritik, tapi kenyataan pahit yang bertahun-tahun dialami dan dihadapi masyarakat adat Papua.
Sering kali kita ingat akan isu-isu kemanusiaan mancanegara, tapi kita juga lupa bahwa di tanah sendiri pun masih mengalami hal yang serupa. Kita sering bicara tentang kemanusiaan dan keberlanjutan, tapi kita lupa menyebutkan Papua. Hari ini mereka membutuhkan bantuan lebih banyak suara, solidaritas dan juga gerakan kolektif. Sudah saatnya kita bicara, bergerak, menulis, menyebar, dan merawat cerita ini bersama. Papua tidak boleh terus berbicara sendirian, segera sahkan RUU Masyarakat Adat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI