Kehilangan sosok yang kita sayangi itu memang sangat menyakitkan. Apalagi diusia yang masih tergolong belia. Dulu, saat berusia 12 tahun (kelas 6 SD) aku kehilangan sosok ibu yang dulunya cukup dekat padaku dan adikku. Mungkin karena anak bungsu sehingga masih mendapat perhatian lebih banyak ketimbang kakak-kakaknya. Tapi, disaat masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang itu, Tuhan ternyata lebih sayang pada ibu sehingga diusia yang masih tergolong muda, ibu dipanggil Sang Maha Pencipta. Betapa hancurnya hati anak yang masih belia ini kehilangan figur yang selama ini begitu dekatnya. Butuh proses teramat lama untuk bisa bangkit dan menerima kenyataan bahwa sosok ibu yang selama ini disayanginya telah pergi untuk selama-lamanya.
       Tanggal 28 Januari 2025 lalu, abang terkasihku dipanggil Sang Maha Pencipta. Kepergiannya begitu mengagetkan saudara-saudaranya, terlebih-lebih istri dan anak-anaknya. Seakan mimpi disiang bolong kepergiannya yang mendadak (serangan jantung) membuat orang-orang terkasihnya tidak siap dengan kenyataan pahit itu. Terlebih-lebih Caesar, anak bungsunya yang hampir setiap hari Bersama-sama dengan bapaknya. Kedekatan bapak dan anak bungsunya ini ibarat perangko yang selalu nempel. Hanya saat di sekolah lah mereka dipisahkan oleh waktu. Selebihnya selalu Bersama-sama. Diusianya yang sama seperti aku saat kehilangan sosok ibu, ponakanku ini pun demikian. Kehilangan sosok bapak yang juga menjadi teman dekat dan sosok yangd ia kagumi sepanjang usianya.
Caesar yang lincah, ceria dan gampang akrab dengan siapa saja, tiba-tiba berubah menjadi sosok anak yang pendiam dan suka menyendiri. Perubahan itu sangat jelas terlihat. Keceriaannya seakan pupus dengan kepergian sangat Bapak, sang teman juga sosok yang dia kagumi. Sebagai orangtuanya, kami pun khawatir akan perubahan sikapnya yang menjadi pendiam dan pelit berbicara. Sangat berbanding terbalik Ketika masih ada bapaknya. Kami mencoba untuk mengembalikan keceriaannya lagi. Namun, semua itu butuh proses juga.
Pernah suatu hari (bahkan mungkin berkali-kali), tiba-tiba bantal yang dia pakai untuk tidur basah seakan habis kena genangan air. Jelas itu bersumber dari airmatanya yang mengalir deras menjelang tidurnya. Karena, rutinitas sbeelum dia tidur, sang bapak senantiasa menggaruk-garuk punggungnya sampai dia benar-benar tertidur. Tapi, rutinitas itu tidak ada lagi. Meski terkadang kakak, abang dan mamaknya melakukan apa yang sering dilakukan bapaknya, jelas sentuhannya berbeda. Meski sama-sama dilakukan dengan penuh kasih sayang.
       Sosok anak belia yang merindukan sosok bapak yang dengan tiba-tiba harus berpisah untuk selama-lamanya. Rindu yang tidak bisa tersampaikan lewat sentuhan fisik. Mungkin untaian doa yang bisa mengurai kerinduan juga tetesan demi tetesan air mata menjelang mata hendak terpejam. Butuh waktu yang cukup lama untuk bisa iklas dengan perpisahan yang menyakitkan ini. Berpisah dengan orang yang benar-benar dikasihi, disayangi juga dikagumi. Berpisah tanpa bisa bertemu secara fisik lagi.
Rindu yang paling menyakitkan adalah ketika kita merindukan seseorang yang telah tiada di dunia ini. Hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya sebagai Pelepas rindu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI