Mohon tunggu...
Bang Doel
Bang Doel Mohon Tunggu... Freelancer - Hallo, semua

Cuma suka lihat orang pada menulis, jadi kadang ikut-ikutan nulis. Buat mampir selain disini, silakan kemari: https://www.doel.web.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Orang-orang yang Mandi di Muara

28 September 2016   07:24 Diperbarui: 28 September 2016   19:00 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sibdepo.ru

Langit tetap temaram. Cahaya mentari sore menyelip di antara mendung, seumpama tiang-tiang menjulur dari kaki langit. Sementara tempias air, kecil saja, menimpa buritan. Senja masih terang, meski perlahan mentari menghilang. Namun tetap saja semuanya gelap bagi Darmi saat suaminya melambai dari geladak kapal. Dan seiring mentari semakin tenggelam, suaminya semakin jauh tak terjangkau mata.

“Mi, penjaga malam bilang kalau tadi malam pas bulan purnama, mereka melihat orang-orang mandi di muara,” tetangga Darmi bertutur saat subuh. Saat Darmi menjajakan ikannya di pasar. Dan berita itu sudah tersebar ke tempat itu. Semua orang sudah mendengarnya. Semua orang membicarakannya. Semua orang berusaha menerka, siapa korban selanjutnya.

“Begitulah, Mi, mengapa nenek moyang kita memberi sesaji kepala kerbau pada Betara Kala,” Darmi masih tertegun, namun tetangganya tetap melanjutkan, “Agar penguasa laut itu memberi tanda pada orang-orang di darat.”

Bujuk rayu Darmi pada suaminya hanya punya waktu sejak subuh itu. Sejak mentari mulai naik, dan terang pelan mengusir gelap. Saat itulah usaha Darmi dimulai. Usaha untuk meyakinkan suaminya, bapak dari kedua anaknya, dan kepala keluarga dari rumah semi permanen di tepian tanggul muara.

Wis Pak, ora usah melaut,” Darmi lirih.

“Itu mitos, Mi,” suaminya menyahut dengan yakin, “Semuanya hanya kebetulan.”


Suaminya tetap bersikukuh.

“Jangan pikirkan hutang dulu, pak. Mikir selamat saja dulu,” sekuat rasa, Darmi tetap membujuk suaminya.

Wak Kaji sudah banyak bantu kita, Mi.”

Darmi sejak lama sudah berpikir, watak dan cara pikir suaminya sudah tertular majikannya. Kaji Sirajudin satu-satunya pemilik kapal di ujung muara ini yang tidak pernah menyumbang larung sesaji. Darmi tak pernah menemui kembang setaman, maupun dupa penuh kemenyan dalam setiap kapal yang diberangkatkan.

Kaji Sirajudin fanatik, Pak, jangan ditiru,” Darmi hampir-hampir menangis putus asa. Matanya berkaca-kaca. Suaranya sudah semakin lirih.

Dia memegang tangan suaminya. Sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya lagi. Air matanya sudah tumpah. Air mata yang menjadi cermin betapa ngilu hatinya.

Darmi masih terisak saat suaminya memohon diri untuk pergi ke rumah Kaji Sirajudin. Darmi tak setegar biasanya. Air matanya semakin tumpah saat suaminya melangkahkan kaki keluar rumah. Baginya, alam sudah memberi tanda. Lewat orang-orang yang mandi di sungai itu cukup bagi siapapun untuk waspada. Jika perlu, biarlah kapal bersandar di muara, tak perlu ke mana-mana.

Betara Kala memang mitos bagi Kaji Sirajudin dan suami Darmi. Namun bagi Darmi, ketika mitos itu terjadi berulang-ulang maka patutlah dipercaya bahwa itu bukan kejadian biasa. Namun, Darmi tak kuasa untuk bercerita. Darmi tak pandai beretorika dan mengungkap fakta. Ia hanya perempuan desa yang miskin bangku sekolah.

Dulu, ibunya pernah bercerita, bahwa pernah ada orang-orang mandi di muara. Meskipun air muara begitu pekat, asin dan berbau. Akibat arus laut yang kencang, air kotor yang mengalir dari darat mengalami hambatan untuk terbuang ke laut. Hal ini menjadikan siapapun berpikir puluhan kali untuk menceburkan diri di muara. Namun, orang-orang yang mandi itu, dipercaya sebagai pasukan Betara Kala. Pasukan yang oleh Kaji Sirajudin dan suami Darmi disebut mitos. Dan setiap kali mitos itu terjadi, maka laut mencabut satu nyawa dari orang-orang di sekitar muara yang pergi melaut. Begitulah setiap peristiwa pada akhirnya diceritakan secara turun temurun.

Darmi menangisi ketidakberdayaannya sebagai perempuan. Ia menangisi ketidaktahuannya akan teori-teori lama tentang agama dan dunia yang tak kasat mata. Wanita ini menangisi kelemahannya sebagai wanita, kekalahannya dalam berdialog dengan lelaki. Ada begitu banyak hal yang ditangisi Darmi. Ada begitu banyak sesal yang membuat air matanya tumpah.

Sedang suaminya pergi ke Kaji Sirajudin, Darmi mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan kekuatan untuk menemui majikan suaminya itu. Ia memantik kembali ingatannya, pengetahuan-pengetahuan lamanya yang tersimpan di sudut otak, entah sebelah mana. Hal ini dilakukannya mengingat Kaji Sirajudin pun mungkin punya segudang ilmu untuk mementahkan remeh temeh keinginannya agar suaminya batal melaut.

Hingga matahari meninggi, Darmi tak kunjung pula keluar rumah. Dia terlampau takut atas omongan orang. Dia sudah menyangka semua orang tahu bahwa suaminyalah yang bakal pergi melaut. Dia tak mau menjadikan suaminya bahan tebak-tebakan orang satu kampung. Begitulah, ketidaktahuan selalu menimbulkan prasangka yang tidak baik. Kadang perasaan ini menyakiti diri sendiri.

Darmi tahu bahwa apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Pemilik kapal tempat suaminya bekerja tak akan begitu saja percaya. Ini hanya cerita. Bahkan hampir mendekati mitos yang sulit masuk logika.

“Itu cuma cerita orang, Bu,” Kaji Sirajudin meyakinkan Darmi bahwa semua baik-baik saja. Pria lanjut usia yang tiga kali pergi berhaji ini tersenyum. Senyumnya berusaha meyakinkan Darmi, berikhtiar mendamaikan gundah wanita pesisir itu. Namun, raut muka penjual ikan itu masih berkerut. Nafasnya sedikit tersengal-sengal. Air muka cemasnya semakin menjadi, demi melihat suaminya mengangkut segala macam kebutuhan melaut ke dalam perut kapal. Darmi kembali tertegun, terdiam beku, tak mampu bersilat kata apapun. Wibawa Kaji Sirajudin menelannya mentah-mentah. Daulat kuli dengan majikan, membuat Darmi hanya menggigit bibir menahan ketidakberdayaan.

Purnama telah sirna. Dan kapal milik Kaji Sirajudin itu tak seharusnya tiba. Darmi berlarian ke muara. Semua orang pun menghambur menuju dermaga.

Salah satu awak kapal berujar, “Orang ini meninggal kehabisan nafas. Ia terlilit jaring saat purnama kemarin!”

Darmi bertanya-tanya di mana gerangan suaminya. Mengapa tak turut serta. Awak itupun berujar kembali bahwa suami Darmi ikut kapal Kaji Sirajudin yang lain, akibat kapal yang datang mengalami kerusakan di bagian buritan. Suaminya dibilang bertukar tempat, Darmi tak percaya. Dengan membabi buta, ia lempar pandangnya ke mana saja. Dan pada satu pandangan, ia temukan suaminya sedang mandi di muara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun