Mohon tunggu...
Bang Doel
Bang Doel Mohon Tunggu... Freelancer - Hallo, semua

Cuma suka lihat orang pada menulis, jadi kadang ikut-ikutan nulis. Buat mampir selain disini, silakan kemari: https://www.doel.web.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Orang-orang yang Mandi di Muara

28 September 2016   07:24 Diperbarui: 28 September 2016   19:00 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: sibdepo.ru

Dia memegang tangan suaminya. Sesuatu yang sudah lama tak dilakukannya lagi. Air matanya sudah tumpah. Air mata yang menjadi cermin betapa ngilu hatinya.

Darmi masih terisak saat suaminya memohon diri untuk pergi ke rumah Kaji Sirajudin. Darmi tak setegar biasanya. Air matanya semakin tumpah saat suaminya melangkahkan kaki keluar rumah. Baginya, alam sudah memberi tanda. Lewat orang-orang yang mandi di sungai itu cukup bagi siapapun untuk waspada. Jika perlu, biarlah kapal bersandar di muara, tak perlu ke mana-mana.

Betara Kala memang mitos bagi Kaji Sirajudin dan suami Darmi. Namun bagi Darmi, ketika mitos itu terjadi berulang-ulang maka patutlah dipercaya bahwa itu bukan kejadian biasa. Namun, Darmi tak kuasa untuk bercerita. Darmi tak pandai beretorika dan mengungkap fakta. Ia hanya perempuan desa yang miskin bangku sekolah.

Dulu, ibunya pernah bercerita, bahwa pernah ada orang-orang mandi di muara. Meskipun air muara begitu pekat, asin dan berbau. Akibat arus laut yang kencang, air kotor yang mengalir dari darat mengalami hambatan untuk terbuang ke laut. Hal ini menjadikan siapapun berpikir puluhan kali untuk menceburkan diri di muara. Namun, orang-orang yang mandi itu, dipercaya sebagai pasukan Betara Kala. Pasukan yang oleh Kaji Sirajudin dan suami Darmi disebut mitos. Dan setiap kali mitos itu terjadi, maka laut mencabut satu nyawa dari orang-orang di sekitar muara yang pergi melaut. Begitulah setiap peristiwa pada akhirnya diceritakan secara turun temurun.

Darmi menangisi ketidakberdayaannya sebagai perempuan. Ia menangisi ketidaktahuannya akan teori-teori lama tentang agama dan dunia yang tak kasat mata. Wanita ini menangisi kelemahannya sebagai wanita, kekalahannya dalam berdialog dengan lelaki. Ada begitu banyak hal yang ditangisi Darmi. Ada begitu banyak sesal yang membuat air matanya tumpah.

Sedang suaminya pergi ke Kaji Sirajudin, Darmi mengumpulkan sisa-sisa keberanian dan kekuatan untuk menemui majikan suaminya itu. Ia memantik kembali ingatannya, pengetahuan-pengetahuan lamanya yang tersimpan di sudut otak, entah sebelah mana. Hal ini dilakukannya mengingat Kaji Sirajudin pun mungkin punya segudang ilmu untuk mementahkan remeh temeh keinginannya agar suaminya batal melaut.

Hingga matahari meninggi, Darmi tak kunjung pula keluar rumah. Dia terlampau takut atas omongan orang. Dia sudah menyangka semua orang tahu bahwa suaminyalah yang bakal pergi melaut. Dia tak mau menjadikan suaminya bahan tebak-tebakan orang satu kampung. Begitulah, ketidaktahuan selalu menimbulkan prasangka yang tidak baik. Kadang perasaan ini menyakiti diri sendiri.

Darmi tahu bahwa apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Pemilik kapal tempat suaminya bekerja tak akan begitu saja percaya. Ini hanya cerita. Bahkan hampir mendekati mitos yang sulit masuk logika.

“Itu cuma cerita orang, Bu,” Kaji Sirajudin meyakinkan Darmi bahwa semua baik-baik saja. Pria lanjut usia yang tiga kali pergi berhaji ini tersenyum. Senyumnya berusaha meyakinkan Darmi, berikhtiar mendamaikan gundah wanita pesisir itu. Namun, raut muka penjual ikan itu masih berkerut. Nafasnya sedikit tersengal-sengal. Air muka cemasnya semakin menjadi, demi melihat suaminya mengangkut segala macam kebutuhan melaut ke dalam perut kapal. Darmi kembali tertegun, terdiam beku, tak mampu bersilat kata apapun. Wibawa Kaji Sirajudin menelannya mentah-mentah. Daulat kuli dengan majikan, membuat Darmi hanya menggigit bibir menahan ketidakberdayaan.

Purnama telah sirna. Dan kapal milik Kaji Sirajudin itu tak seharusnya tiba. Darmi berlarian ke muara. Semua orang pun menghambur menuju dermaga.

Salah satu awak kapal berujar, “Orang ini meninggal kehabisan nafas. Ia terlilit jaring saat purnama kemarin!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun