Long Iram, 14 Juli 2022. Â Saya mencoba membuka kembali isu-isu yang biasanya muncul dan dibahas di beranda Kompasiana. Mulai dari isu tentang Idul Adha, AFF U-19, Â hingga isu hidup minimalis. Kali ini kita mencoba membahas tentang apa yang harus dipahami tentang hidup minimalis.Â
Menurut Joshua Becker, penulis Becomng Minimalist, minimalis adalah tentang mendapatkan apa yang membuat anda bahagia dan menghilangkan apa yang tidak. Ini praktis dan seperti hidup sederhana. Kita hidup dalam kualitas, dan tidak banyak yang kita butuhkan.
Pendapat lain juga disampaikan oleh penulis buku tentang kehidupan minimalis Jepang yakni
Konsep hidup minimalis adalah mengurangi jumlah harta benda, untuk mewujudkan hidup minimalis dengan cara menyingkirkan hal-hal yang tidak penting dan tidak perlu.
Bahkan dalam sudut pandang agama pun, konsep Ajaran Islam kita juga senantiasa diajarkan untuk senantiasa hodup tanpa berlebihan.
 Memilih hal-hal prioritas yang penting dan berfungsi jangka panjang.
Jika mengacu pada teori di atas dapat kita pahami bahwasannya menerapkan gaya hidup minimalis bukan mengacu pada asumsi kita harus hidup hemat hingga pelit. Melainkan kita dapat hidup dengan hanya memfokuskan diri  pada pemenuhan kebutuhan terhadap barang-barang yang dirasa penting dan mampu membawa manfaat besar bagi kehidupan kita. Kita dapat mulai menghemat waktu, energi, dan bahan untuk merawat barang-barang yang kita miliki serta dapat memulai hidup untuk gemar menabung sejak dini.
Jika kita mencoba memahami rentang hakikat hidup minimalis salah satunya adalah mencoba memanfaatkan apa yang sebenarnya kita butuhkan, namun tak mengambil semua dan semaunya apa yang kita inginkan. Contoh sederhana yang dapat dipahami misalnya tentang tangkapan kumpulan layar ponsel yang seolah-olah "berpotensi digunakan nanti", namun dalam kenyataannya hasil tangkapan layar tersebut justru tak digunakan dan ujung-ujungya hanya memenuhi memori ponsel yang kita gunakan.
Lalu apa makna gaya hidup minimali yang dapat kita pahami agar dapat diterapkan oleh mahasiswa khususnya anak kos? Perlu dipahami bahwa hidup minimalis memiliki banyak sekali pengertian sesuai dengan persepsi atau sudut pandang masing-masing orang. Namun yang harus kita pahami bersama, gaya hidup minimalis harus didasarkan pada konteks dan situasi serta latar belakang subjek itu sendiri. Maksudnya, jika kita ingin menerapkan gaya hidup apapun kita harus mampu berkaca terhadap keadaan diri, konteks serta latar belakang, dan juga kemampuan diri.Â
Berangkat dari latar belakang kehidupan di desa misalnya, mencoba merantau di kota untuk melaksanakan pendidikan atau berkuliah serta mencoba mencari pekerjaan sampingan, hidup dari satu kos ke kos yang lain, mencoba bertahan dengan kiriman orang tua di kampung seadanya, dan bahkan bertahan tanpa kiriman orang tua. Mungkin dapat menjadi alasan awal mengapa mahasiswa atau anak kos harus mampu menerapkan gaya hidup minimalis. Berikut beberapa hal yang dapat kita renungkan bersama agar dapat menjadi anak kos yang mampu menerapkan gaya hidup minimalis namun tetap sejahtera secara kehidupan.
1. Memilki Kemampuan Manajemen Keuangan Minimal
Mampu mengelola keuangan yang baik selama hidup menjadi mahasiswa atau anak kos adalah modal utama agar misi anda dalam bertahan hidup di kota perantauan. Misalnya, ketika kita mendapatkan kiriman orang tua dari kampung sekitar Rp 2 juta rupiah. Yang pertama harus kita hitung bukan biaya kebkutuhan untuk makan melainkan biaya membayar tagihan kos atau kontrakan. Membayar. Jika kita memiliki tagihan biaya membayar kos sebesar Rp 500 ribu/bulan, berarti kita memiliki sisa uang Rp 1,5 juta. Lalu dengan sisa uang tersebut, kita dapat sisihkan untuk membeli bahan pangan pokok seperti beras, lauk yang dapat disimpan seperti telur, mie instan, peralatan mandi, serta peralatan perawatan tubuh seperti parfum dan deodorant hingga sabun wajah. Menyisihkan uang untuk biaya tranport dan terakhir sisakan uang untuk tabungan agar meminimalisasikan kebutuhan "biaya tak terduga".Â
2. Fokus Pada Tujuan bukan sekedar Keinginan