Aku mengusap semakin intens, agar mama lebih tenang, sementara usiaku masih enam belas dan aku belum mengerti rokok  apalagi minuman dewasa.
Suruh papamu membawakan barang-barang mewah itu! Lanjut mama tanda perintah.
Mama! Aku mendekapnya. Lupakan segala kemewahan itu sekarang dan selamanya, please! Aku memohon. Aku merasa duka marah, sempat terpikir kenapa papa tak hendak juga menengok mama, sejak sakit terakhirnya ini. Terakhir aku menatap papa pergi ke tanahnya di desa lembah dengan wajah seperti keputusan pasrah.
Menjelang petang aku membersihkan lemari kecil bangsalnya dan mengambili perangkat yang tidak butuh. Memenuhi tas dengan minuman jus orens, buah anggur dan jeruk yang melayu tak tersentuh. Aku mengambil seikat krisan sedih di bawah lenganku.
Kali ini pergilah ke papamu, sayang! Kata mama sebelumpisah.
Aku mencium mama dan pamit pulang, dengan beban berat yang terasa dobel, aku sempat berbalik melambaikan krisan layu itu padanya.
Mama balas melambai dari baringnya di ranjang rumah sakit yang tinggi.
 Tiba-tiba aku merasa lambaian krisan layu itu adalah terakhir, bunga krisan kesukaan mama yang dibencinya seperti dia tak terima kenapa krisan itu mesti layu dan mati.
Dan aku tau saat akhir ini membawa nostalgia oranye sambil bersenandung lagu krisan yang sedih.
Satu minggu kemudian aku pergi ke dusun papa di lereng. Dan aku menemukan papa duduk tersendiri di pinggir kebun krisan oranye yang terhampar layaknya permadani.Â
Aku berlari memeluknya. Mata kami dua buram berkabut, tapi papa berkata bahwa di ladang ini bunga krisannya tak pernah bersedih.