Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Krisan Mama

22 Maret 2024   22:21 Diperbarui: 22 Maret 2024   22:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pixabay.com

Aku mendekap bunga krisan ditangan, warna orensnya bergantian tertumbuk cahaya mentari di pedestrian.
Sekejap aku akan merambah gerbang rumah sakit yanghampir disenja menjelang, aku selalu melintasi jalan ini.

Pas pukul besuk, rantai pagar besinya dibuka, lalu orang berbondong separuh berebut, hampir segala membawa buah tangan termasuk aku yang berbunga krisan.

Aku berjalan lurus saja, sampai terujung, disitulah sal mama. Terlihat lampu benderang menyatakan hatiku tak usah meradang. Kerna ini sudah kesebelas kali mama diopnam, bolak-balik semenjak menginjak jauh usianya.

Pintu kamarnya yang tinggi mungkin tiga kali tinggi badanku, aku mendorongnya lambat. Dan benar mama tertidur. 

Tempat tidurnya tinggi, disampingnya ada meja dengan bunga krisan yang sedih. Aku mengendap dan tubuhku yang kecil ringkas menguras krisan yang layu, lalu menggantinya dari lenganku.


Selanjutnya aku beringsut berbenah barang tergeletak, mama bergeliat mengusap matanya yang menatap krisan segarku.

Jangan membawa bunga, mereka hanya akan layu dan mati! Ucap mama lirih.
Aku diam menggigit bibir, tiba-tiba aku merasa, aku takut mamaku akan mati, di tempat tidur ini, di samping bunga krisan yang sedih.

Baiklah mama. Aku akan melupakannya esok! Jawabku dengan kasih.
Mama mengangguk dan matanya kembali ke kepalanya.

Aku menjulurkan lengan memungut sebotol jus di sisi kasurnya. Jus oranye itu seperti tak terteguk.
Mama kembali membuang matanya.

Jangan pernah bawa jus jeruk itu juga! Katanya. Aku terdiam dengan botol orens digenggam.
Nostalgia oranye itulah adanya! Sambung mama. Aku tak mengerti, aku menjawab. Baik mama!

Lalu sepanjang hari lagi akan kulalui bersama mama di sal tinggi ini.

Di pagi pertama suster tiba dengan meja roda, menyuntik dan memastikan lima tablet tertelan dengan baik. Mengamati tetesan laju infus tanpa hambatan.

Aku menanti reaksi separuh jam, mama mulai bangkit duduk, lamat dan aku mengambil lengannya, berjalan menyeret ke kamar toilet. Tak jarang mama muntah.

Perut ini selalu mual setelah obat brengsek itu! Kata mama memerah. Aku diam saja, konsentrasi mendukungnya kembali ke bed.
Aku memutar tuas penegak bed, sampai mama menemukan titik yang nyaman di ranjangnya.

Kau putri mama yang paling pintar! Kata mama memoles kepalaku seperti aku anak kecil, padahal aku sudah 16 tahun.
Lalu aku menyuapi mama, biasanya lumayan separuh, tapi kali ini hanya sepertiga piring dan aku tak hendak memaksakannya.

Tak lama dokter visit berdamping suster masuk, semuanya berwarna putih bersih. Dokter melekatkan stetoskop, mimiknya selalu serius.

Dia memandang mama dan melihatku, sedikit lama menanti anggukannya. Lalu berbicara perlahan kepada suster yang kurang kudengar. Kemudian aku melepaskan mereka lanjut ke ruang sebelah.

Kembali kami berdua melakukan sunyi menuju siang matahari. Aku mengeluarkan majalah wanita kesukaan mama dan menawarkannya. Tapi kepala mama bergoyang.

Jangan membawa majalah, terlalu memikirkan ukurannya! Katanya dengan mata tanpa gairah.
Aku akan memijati mama! Kataku mengulurkan tangan, mama diam terpejam, dan aku memijatnya perlahan sampai dia ternyenyak.

Menjelang tengah siang, mama bangun, dia terlihat grogi dan lemas. Aku membelai lengannya lembut

Nak, yang ingin mama ketahui. Katanya. Hanyalah ini:
Sekaleng bir dingin, kue jahe coklat yang panas, kue meringue yang manis abis, satu kaleng biskit dan sebungkus sigaret! Tiba-tiba mama meradang digugahan tidurnya.

Aku mengusap semakin intens, agar mama lebih tenang, sementara usiaku masih enam belas dan aku belum mengerti rokok  apalagi minuman dewasa.

Suruh papamu membawakan barang-barang mewah itu! Lanjut mama tanda perintah.

Mama! Aku mendekapnya. Lupakan segala kemewahan itu sekarang dan selamanya, please! Aku memohon. Aku merasa duka marah, sempat terpikir kenapa papa tak hendak juga menengok mama, sejak sakit terakhirnya ini. Terakhir aku menatap papa pergi ke tanahnya di desa lembah dengan wajah seperti keputusan pasrah.

Menjelang petang aku membersihkan lemari kecil bangsalnya dan mengambili perangkat yang tidak butuh. Memenuhi tas dengan minuman jus orens, buah anggur dan jeruk yang melayu tak tersentuh. Aku mengambil seikat krisan sedih di bawah lenganku.

Kali ini pergilah ke papamu, sayang! Kata mama sebelumpisah.
Aku mencium mama dan pamit pulang, dengan beban berat yang terasa dobel, aku sempat berbalik melambaikan krisan layu itu padanya.

Mama balas melambai dari baringnya di ranjang rumah sakit yang tinggi.

 Tiba-tiba aku merasa lambaian krisan layu itu adalah terakhir, bunga krisan kesukaan mama yang dibencinya seperti dia tak terima kenapa krisan itu mesti layu dan mati.
Dan aku tau saat akhir ini membawa nostalgia oranye sambil bersenandung lagu krisan yang sedih.

Satu minggu kemudian aku pergi ke dusun papa di lereng. Dan aku menemukan papa duduk tersendiri di pinggir kebun krisan oranye yang terhampar layaknya permadani. 

Aku berlari memeluknya. Mata kami dua buram berkabut, tapi papa berkata bahwa di ladang ini bunga krisannya tak pernah bersedih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun