Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung Hujan

17 September 2021   23:59 Diperbarui: 18 September 2021   00:08 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dari pixabay.com

September kali ini hujan tidak lagi terukur, curahnya begitu lebur, tak tampak lagi perbedaan hujan atau tangisan. Air seperti memadat, mengalir perlahan memenuhi halaman seperti coklat susu, menguak tanah yang rendah yang membawanya ke tepi hilir.

Di dalam rumah, bapak duduk diam tak bergerak, cahaya di meja makan temaram, padahal pagi sudah jauh terlewat. Secangkir kopi habis  direguknya sedangkan roti hanya setengah tangkup yang dimakannya. Bapak duduk seperti berhenti, tidak bergerak apalagi berbicara. Pandangannya lurus kedepan, menatap hujan di jendela, matanya tidak berkedip seperti memusuhi hujan.

Burung-burung itu tidak ada yang datang, Le? Bapak bergumam, tapi saya masih mendengarnya.

Tak ada satupun pak. Mungkin menunggu sebentar hujan akan berhenti dan terang! Jawab saya menenangkannya. Tapi bapak tampak sengaja tidak mendengarkan. Lalu saya bangkit menepuk pundak orang tua itu, sembari membawa perangkat kotor bekas sarapan ke dapur.

Ada baiknya kita tunda saja ke nanti sore! Teriak saya dari balik dinding ruang dapur, tapi saya hanya mendengar jawaban hujan.
Sekembali saya ke meja makan, bapak masih membeku, membuat saya hilang  frasa akan kata selanjutnya.

Bapak harus kesana, Le! Tiba-tiba bapak berdiri dan berjalan menuju ke pintu depan rumah.
Sebentar pak! Saya menyambar sebuah payung dan bergegas menyongsong bapak. 

Lalu tak lama kami sudah berhimpitan berpayung menembus hujan. Perlahan kami menguak tirai hujan dan melangkah hati-hati untuk  menghindari kubangan di tanah yang mengalir. Tujuan kami memang tak jauh namun hujan kali ini seperti bah, sementara kemauan bapak ternyata lebih lebat dari tumpahan air langit ini.

Memang, sejak kematian ibu tujuh hari lalu, bapak seakan berjanji kepada dirinya sendiri untuk nyekar ke makam ibu setiap hari. Suami tua ini begitu kehilangan atas kepergian istrinya, dan saya sebagai anak perempuan satu-satunya sangat paham. 

Beruntung setiba di tanah yang berbunga, hujan telah mereda sehingga kami sedikit leluasa berdoa di tanah ibu. Bapak begitu lama memanjatkan kata seolah mengosongkan ruang batinnya, untuk kekasih tercintanya. Mata tuanya berkilat seperti kaca yang lalu mengembun dan melinang. 

Saya mendekapnya dan merasakan cintanya kepada ibu sekaligus cintanya kepada saya. Saya ikut larut dan menangis melihat bapak tersayang begitu lelah setelah ibu pergi dan saya pun ikut mengenang keduanya bersama pada malam-malam musim hujan yang dingin. Saya begitu bersedih, apalagi bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun